Demi Kemaslahatan Bangsa, Siapa pun Harus Bersedia Jadi Cawapres
MEKKAH, iNews.id – Terpilihnya Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin sebagai cawapres Joko Widodo tidak hanya mengejutkan banyak pihak. Keputusan tersebut juga sempat memicu polemik karena ada pihak yang merasa dijegal.
Maruf dipilih Jokowi di detik-detik akhir jelang pengumuman cawapres dalam pertemuan bersama ketua umum dan sekjen partai koalisi. Meski sebelumnya nama Maruf masuk sebagai kandidat potensial, namun sebagian besar tak menduga bahwa Rais Aam PBNU inilah yang dipilih Jokowi sebagai pendampingnya di Pilpres 2019.
Sesungguhnya, bagaimana proses terpilihnya Maruf? Mengapa kiai berpengaruh ini menerima tawaran tersebut? Berikut wawancara eksklusif jurnalis senior iNews Yadi Hendriana dengan Maruf di Mekkah, Arab Saudi, Kamis (16/8/2018).
Kami sebetulnya sangat terkejut dengan terpilihnya Pak Kiai sebagai calon wakil presiden. Bagaimana ceritanya?
Saya juga terkejut, apalagi Anda. Saya sendiri juga terkejut.
Apakah memang sempat diajak bicara oleh Pak Jokowi mengenai kemungkinan Anda sebagai cawapres?
Tidak pernah. Pak Jokowi tidak pernah berbicara soal akan memilih saya. Jangankan berbicara, isyarat pun tidak bahwa beliau akan memilih saya. Jadi, tahu-tahu saya dipilih.
Katanya kan sebelumnya ada orang lain. Ya sudah. Karena bagi kita, siapa saja yang dipilih Pak Jokowi, kita harus diterima. Saya kira Pak Jokowi tahu siapa yang dibutuhkan oleh beliau, yang memang diperlukan untuk mendampingi beliau. Karena itu saya katakan tidak boleh ada yang mengintervensi, menekan-menekan. Tidak boleh. Saya kira beliau tahu kok siapa yang harus dipilih, yang terbaik. Malah saya dengar orang lain, bukan saya.
Tapi banyak wartawan tanya bahwa saya salah satu kandidat. Saya tidak tahu darimana informasi itu diperoleh. Ya, saya bilang saya tidak pernah diajak omong. Tidak pernah diminta, isyarat pun tidak.
Tapi wartawan kemudian tanya, apabila dipilih bagaimana? Ya, saya bilang kalau diminta, untuk berbakti di negara, berkiprah bagi Ibu Pertiwi, siapa pun harus bersedia. Sebab itu untuk kemasalahatan bangsa dan negara, termasuk saya, harus bersedia.
Ada kelompok yang sangat gembira dengan keputusan Kiai menerima tawaran cawapres. Namun di sisi lain ada yang menyayangkan karena Kiai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, apakah ini sudah dipikirkan matang?
Ya saya sangat mengerti itu, sangat paham itu. Menempati posisi Rais Aam PBNU itu sangat tinggi, kemudian Ketua Umum MUI juga sangat terhormat. Maka saya bilang sebenarnya saya sudah sangat nyaman di sini karena berada di habitat saya. Sejak kecil saya dibangun, dibentuk memang berada di habitat ini.

Tapi ketika harus melangkah, saya melihat ada maslahat di sini, ada manfaat. Kalau di sini, di MUI dan PBNU, hanya untuk NU dan Islam. Di posisi ini (cawapres) diajak untuk memberikan manfaat bagi seluruh lapisan bangsa Indonesia.
Dan saya merasa ini penghargaan kepada ulama, ulama diberi peran, bahwa ulama juga dibutuhkan di dalam rangka pembangunan nasional. Oleh karena itu saya melihat penghargaan ini harus kita respons. Kesempatan ini harus diambil, sebagai satu bagian kiprah kita lebih besar dalam tataran kenegaraan dan kebangsaan.
Artinya, Pak Kiai yakin dengan menerima tawaran ini? Pak Kiai bisa melakukan dakwah dengan cara sendiri?
Saya kira begitu. Prinsip-pinsip ajaran islam yang rahmatan lil alamin bisa kita bawa ke sana, bisa kita aplikasikan secara lebih implementatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait konsep rahmatan lil alamin, apa yang bisa kita wujudkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa. Bukan saja untuk muslim, umat Islam, tapi Indonesia.
Yang penting dari menjadi cawapres ini adalah visi dan misi. Pak Kiai memiliki visi misi ekonomi syariah yang luar biasa dan mungkin konsep-konsep lain. Bisa disampaikan?
Ya pertama, yaitu konsep menjaga keutuhan bangsa ini. NKRI. Kenapa? Kalau ini tidak dijaga, NKRI itu bubar. Nah NKRI itu komitmen para pendahulu. Karena itu saya menyebutnya negara ini negara kesepakatan.
Saya lebih memilih menyebut sebagai negara kesepakatan karena dibangun oleh semua elemen dari semua bangsa. Kemudian ditemukannya konsep dasar negara Pancasila. Pancasila itu oleh kelompok kebangsaan disebut kebangsaan yang religius. Tapi bagi kelompok Islam Pancasila itu kebangsaan yang bertauhid. Kebangsaan dan Islam bertemu.

Kemudian sistem pemerintahan kita seperti apa? Itu kan disepakati melalui Undang-Undang Dasar 1945 yang mukadimah (pembukaan) nya itu kan sebenarnya Piagam Jakarta. Itu yang menginspirasi lahirnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar, dan itu kesepakatan.
Dua pilar utama inilah kemudian lahir Indonesia dan NKRI. Tapi untuk menjaga agar NKRI yang dibangun di atas landasan kuat ini supaya tetap utuh, kita jaga dengan paradigma yang dibangun di Indonesia, yang di negara lain tidak muncul yaitu ukhuwah. Ukhuwah islamiyah dah ukhuwah wathaniyah. Di situlah kita bisa jaga.
Nah prinsip inilah yang ingin terus kita dengungkan, bahwa jangan sampai tidak ada yang punya komitmen kebangsaan. Kemudian juga harus ada kesepakatan mengenai bagaimana menyampaikan aspirasi yaitu bagaimana yang diatur dalam undang-undang dasar. Karena itulah jangan sampai ada radikalisme, apalagi terorisme. Ini konsep dasar.
Editor: Zen Teguh