Demokrasi, Pemersatu atau Pemecah Bangsa?
JAKARTA, iNews.id - Siapa yang tidak mengenal kata 'demokrasi'? Atau pernahkah mendengar kalimat 'dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat'? Walau mengetahui ataupun sekadar pernah mendengar, mungkin banyak yang tidak mengenal arti mendalam dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam menjalankan suatu pemerintahan, di mana sistem ini berorientasi pada masyarakat dewasa. Makna dari kalimat tersebut adalah masyarakat turut andil dalam menjalankan dunia perpolitikan negeri, umumnya melalui sistem perantara.
Di Indonesia, perantara dari suara atau aspirasi rakyat dikenal dengan istilah wakil rakyat, seperti Dewan Perwakilan rakyat (DPR), Majelis Perwakilan Rakyat (MPR), Walikota, Gubernur dan lain sebagainya. Mengapa kata 'demokrasi' selalu digaungkan? Karena demokrasi memiliki peran penting dalam mengontrol masyarakat untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang aman dan tentram.
Akan tetapi pada kenyataannya, makin bergesernya zaman, kata 'demokrasi' hanya dijadikan sebuah kalimat tanpa makna. Dimulai dari orde lama yang dijalankan dengan demokrasi terpimpin karena ketidakstabilan di pemerintahan dan banyaknya terjadi penyimpangan yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam pelaksanaannya salah satu penyimpangannya adalah dengan mengangkat Ir. Sukarno menjadi presiden seumur hidup melalui TAP MPRS No. III/MPR.1963 dan adanya pelanggaran terhadap hak DPR (hak budget).
Pada orde baru, era demokrasi ditandai dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret, atau yang dikenal dengan Supersemar. Pada orde ini, kemurnian akan esensi Pancasila dan UUD 1945 menjadi pusat atau poros dari demokrasi. Meski berorientasi pada kemurnian dari Pancasila dan UUD 1945, tetap saja dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan yang bahkan dapat dikatakan lebih parah dari orde lama.
Seperti halnya tekanan yang diberikan pemerintah kepada kelompok dengan kepentingan tertentu, peran media massa yang sangat dibatasi, serta kurangnya perlindungan yang diberikan kepada kelompok-kelompok minoritas. Sebut saja seperti kejadian 98, hilangnya beberapa aktivis 98 maupun wartawan, serta pihak media yang kala itu memberitakan hal-hal yang bertentangan dengan pemerintahan ataupun keluarga penguasa.
Setelah itu, peristiwa 98 menjadi sebuah penanda runtuhnya orde baru dan dimulainya era reformasi. Jika dibandingkan dengan kedua masa sebelumnya, demokrasi pada era reformasi mengalami perkembangan yang dapat dikatakan cukup signifikan, serta demokrasi sudah lebih terjamin dalam pelaksanaannya baik pada golongan elit politik, masyarakat biasa bahkan hingga kepada mahasiswa.
Tak sedikit pula yang mengatakan bahwa era reformasi merupakan sebuah era di mana demokrasi telah merdeka. Hal ini karena hak-hak media atau pers yang sebelumnya dilanggar menjadi lebih bebas, partai politik tidak dibatasi, serta adanya pesta demokrasi (pemilu) yang lebih demokratis dan tidak memihak.
Masyarakat yang tidak terlalu berorientasi pada dunia politik turut merasakan euforia dari demokrasi. Salah satunya ketika pemilihan umum atau pemilu dilangsungkan. Pemilu menjadi sebuah ajang bagi masyarakat untuk berlomba ataupun berkompetisi untuk mengisi jabatan pada dunia politik. Pemilu merupakan sebuah simbol pesta demokrasi karena esensi dari pemilu itu sendiri merupakan representasi dari makna demokrasi.
Ajang ini menjunjung asas dari rakyat (calon-calon wakil rakyat adalah rakyat), oleh rakyat (para wakil rakyat dipilih oleh rakyat untuk dijadikan sebagai penyambung lidah), serta untuk rakyat (hasil kerja diorientasikan sepenuhnya untuk rakyat). Walaupun demikian, tak jarang pemilu dijadikan sebatas ajang empat tahun sekali yang tidak memikirkan kualitas pemilu itu sendiri.
Sementara itu, kualitas pemilu dapat dilihat atau dinilai berdasarkan partisipasi oleh masyarakat secara sadar dan tanpa tekanan dan paksaan ketika melaksanakannya. Selain itu, juga dapat dinilai dari adil dan tidaknya, serta keterwakilan masyarakat yang merata dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada 14 Februari 2024 mendatang, pesta demokrasi pun akan dilaksanakan. Meski masih dalam hitungan bulan, euforia akan pesta demokrasi telah tercium hingga ke penjuru negeri. Namun sayangnya, hal ini juga dapat memberikan dampak negatif, salah satunya perpecahan bangsa.
Pernyataan tersebut didasari oleh panasnya situasi politik saat ini yang sudah tidak memikirkan etik dalam berkampanye, walau tidak ada perintah langsung dari capres dan cawapres seluruh nomor urut. Namun, ada satu ataupun dua oknum yang memberikan percikan-percikan pertikaian, seperti dengan mempertanyakan latar belakang pendidikan dari salah satu cawapres, serta stigma buruk kepada salah satu capres akibat adanya konotasi negatif oleh masyarakat terhadap partai politik terkait.
Tak hanya itu, ada pula hal lainnya yang dapar menimbulkan pertikaian seperti penilaian kinerja dari salah satu capres yang pernah menjadi pejabat berwenang di Ibu Kota. Hal inilah yang menyebabkan beberapa golongan masyarakat merasa malas dan tidak mau ikut andil dalam pesta demokrasi. Padahal, salah satu indikator keberhasilan suatu negara dalam menjalankan demokrasi adalah keikutsertaan masyarakat di dalamnya.
Oleh:

Frania Audrey Marisya
Mahasiswa S1 Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
Editor: Anindita Trinoviana