Detik-Detik Pangeran Diponegoro Ditangkap Belanda di Hari Kedua Lebaran
JAKARTA, iNews.id - Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran menjadi saat penting dalam sejarah Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Pada momen bulan suci, Pangeran Diponegoro istirahat untuk membahas peperangan meski ada kegiatan rapat atau pertemuan yang bersifat ramah tamah biasa.
Tekad untuk menjadikan bulan Ramadan istirahat perang disampaikan Pangeran Diponegoro pada awal Maret 1830. Pangeran Diponegoro menyampaikan hal itu kepada perwira perang Belanda, Jenderal De Kock melalui Cleerens.
De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda yang bagus warna abu-abu dan uang 10.000 yang diberikan dalam tempo waktu dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa.
"Dia juga mengizinkan anggota keluarga Diponegoro yang ditawan di Yogyakarta dan Semarang untuk bergabung dengan sang pangeran di Magelang," kata Sejarawan, Peter Carey, penulis buku tentang Pangeran Diponegoro berjudul "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro" dan "Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro".
Dalam suatu surat-menyurat pribadi dengan Gubernur Jenderal Van den Bosch setelah pertemuannya 8 Maret dengan Diponegoro, Jenderal De Kock menganggap tibanya sang Pangeran di Magelang merupakan penyerahan diri de facto (Louw dan De Klerck 1894–1909, V:569).
Hari pertama puasa atau 1 Ramadhan 1245 hijriah itu jatuh pada 25 Februari 1830. Masa-masa di bulan puasa, juga digunakan sang Pangeran untuk beristirahat. Mengutip Okezone.com, Pangeran Diponegoro bahkan sempat dirawat oleh dokter militer di garnisun militer Belanda yang cukup kuat di sekitar Pegunungan Menoreh karena gejala malarianya kambuh.
Pada tengah hari 8 Maret 1830 (hariri ke-12 Ramadhan), Diponegoro dan pasukan bertombaknya memasuki Kota Magelang untuk sebentar bertemu Letnan Jenderal De Kock dan pejabat lain di kantor Residen Kedu.
"Dia masuk bersama para panglimanya yang masih muda-muda, serta anggota rombongan yang jumlahnya sudah membengkak menjadi 800 orang. De Kock dan Diponegoro saling cerita bertukar lelucon dan menemukan mata saat bertemu," tulis Carey.
Tidak ada penangkapan atau pertikaian pada hari itu, meski De Kock bisa saja melakukannya. Jika Diponegoro diringkus saat itu juga, menurut Carey Belanda takut mereka akan menghadapi pertempuran baru lagi jika pemimpin Perang Jawa itu ditangkap secara paksa dengan kekuatan militer.
Letnan Jenderal De Kock merasa, Diponegoro bisa saja kabur dan terus melawan lagi lain waktu bila dibiarkan. Panglima tertinggi tentara Belanda itu juga sadar, sebagaimana dikutip Carey.
"Penangkapan macam itu tidak terpuji, tidak ksatria, dan curang karena Diponegoro telah datang ke Magelang dengan niat baik bertemu saya," kata De Kock dikutip Carey.
"De Kock tampaknya telah bertemu dengan Diponegoro dalam tiga kesempatan yang berbeda pada masa ini, dua kali dalam acara jalan subuh di taman keresidenan dan sekali ketika dia datang sendiri ke pesanggrahan Pangeran itu sebelum mulai puasa hari itu," ucap Carey.
Menurut kesaksian Diponegoro, tiga pertemuan ini berlangsung dalam suasana menyenangkan dan santai, dengan keduanya bertukar canda dan merasa senang bertemu. Bahwa keduanya masih berkabung atas kematian istri masing-masing yang sangat mereka kasihi serta yang meninggal dalam waktu yang terpaut satu tahun antara November 1827 dan November 1828, tampak telah membuat mereka merasa istimewa dekatnya.
Setelah pertemuan itu, Diponegoro dan pengikutnya berkemah di Matesih, sebuah daerah di tepi Kali Progo. Di mana perwira bernama Mayor Francois Victor Henri Antoine Ridder de Steur, yang tak lain mantu De Kock melukis perkemahan tersebut.
Carey mencatat Belanda nyatanya tak semurah hati itu. Residen Yogyakarta, Frans Gerhardus Valck menempatkan Tumenggung Mangunkusumo dalam rombongan Diponegoro sebagai mata-mata. .
Sementara hubungan baik ini sedang terbentuk, De Kock menjadi sadar Diponegoro tidak akan pernah menyerahkan diri tanpa syarat. Perlakuan De Kock yang manis ternyata bermuatan politis. Dia membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat.
“Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey di buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)".
Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro. Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang ditanam residen Valck dalam kesatuan Diponegoro melaporkan Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapat pengakuan sebagai Sultan Jawa bagian selatan.
Tapi perwira senior Belanda lain menyatakan Diponegoro sebagai Ratu Paneteg Panatagama Wonten ing Tanah Jawa Sedaya (ratu dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa).
Mendengar kabar tersebut De Kock mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, dia memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, Louis du Perron dan AV Michels untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran.
Gencatan senjata yang berlangsung selama Ramadan berakhir tragis, Diponegoro ditangkap pada hari kedua Lebaran, 28 Maret 1830.
Editor: Rizal Bomantama