Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : UU Peradilan Militer Digugat ke Mahkamah Konstitusi, Kenapa?
Advertisement . Scroll to see content

Dewan Etik dan MKMK Diminta Periksa Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi Anwar Usman

Selasa, 17 Oktober 2023 - 10:24:00 WIB
Dewan Etik dan MKMK Diminta Periksa Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi Anwar Usman
Advokat dan Ahli Hukum Pendukung Demokrasi (ALIANSI) mendorong Dewan Etik dan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi Anwar Usman. (Foto: Antara)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Advokat dan Ahli Hukum Pendukung Demokrasi (ALIANSI) mendorong Dewan Etik dan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi Anwar Usman. Hal itu terkait putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada Senin (16/10/2023) yang membolehkan kepala daerah di bawah 40 tahun maju pilpres. 

"Kami ALIANSI dengan ini memohon dan mendesak agar Dewan Etik dan Mahkamah Kehormatan MK untuk memeriksa Yang Mulia Hakim Konstitusi Anwar Usman terkait prinsip independensi, ketidakberpihakan, dan integritas, yang diatur dalam Pasal 15 UU MK," kata Advokat Alumni Universitas Gadjah Mada, Mangatta Toding Allo, Selasa (17/10/2023).

Dia menyebut lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi berupaya memastikan terjaganya integritas, marwah serta martabat Mahkamah Konstitusi.

Mangatta juga menyampaikan ALIANSI menyayangkan putusan MK yang mengabulkan permohonan Judicial Review (JR) secara sebagian sehingga mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Para advokat dan ahli hukum yang tergabung dalam ALIANSI sangat menyayangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan MK) pada hari Senin tanggal 16 Oktober 2023, yang pada pokoknya mengabulkan permohonan Judicial Review (JR) secara sebagian sehingga mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden," ucapnya.

Sementara itu, Advokat Alumni Universitas Padjadjaran, Romy Jiwaperwira menjelaskan ALIANSI menyayangkan putusan MK terkait batas usia dapat berimplikasi dan mulai berlaku pada Pilpres 2024 mendatang.

"Putusan MK telah memperluas persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, yang sebelumnya mensyaratkan 'berusia paling rendah 40 tahun', diubah menjadi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'. Implikasi dari putusan MK ini adalah memungkinkan bagi seorang yang belum berusia 40 tahun untuk memiliki kesempatan menjadi capres dan cawapres pada 2024," ujar Romy.

Romy mengatakan pembahasan hukum dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu merupakan suatu open legal policy sehingga hal tersebut merupakan kewenangan legislatif dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

"Selain itu, mengenai ketentuan 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' tidak pernah dilarang dalam UU Pemilu sebagai suatu persyaratan bagi seorang mencalonkan diri menjadi Presiden atau Wakil Presiden," ucapnya.

Romy yang mewakili ALIANSI juga menyoroti Hakim Konstitusi Anwar Usman yang mengadili dan memutus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sehingga mengindikasikan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi tersebut. Diketahui Anwar Usman merupakan paman dari Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. 

"Terdapat beberapa fakta dalam pertimbangan hukum putusan MK yang mengindikasikan perlunya pemeriksaan kode etik dan perilaku hakim konstitusi terhadap Yang Mulia Anwar Usman sehubungan dengan putusan MK tersebut," tuturnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A.

Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas Tsaqibbirru Re A meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Dalam konklusinya, Anwar menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo. Pemohon juga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

"Permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian," katanya.

Editor: Rizal Bomantama

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut