Dosen IPB Sebut Jumlah Pernikahan Anak di Indonesia Nomor 7, Ini Penyebabnya
JAKARTA, iNews.id - Dosen dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan saat ini jumlah pernikahan anak di Indonesia masuk nomor 7 di dunia. Hal tersebut pun tak jauh berbeda dengan negara Afrika dan Amerika Latin.
Dosen IPB dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Yulina Eva Riany mengatakan daerah paling tinggi jumlah pernikahan anak di Indonesia berada di provinsi Jawa Barat. Hal itu karena beberapa faktor mulai dari tingkat pendidikan sampai kurangnya informasi risiko.
“Beberapa faktor penyebab tingginya pernikahan anak, di antaranya tingkat pendidikan yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya informasi terkait dengan risiko pernikahan anak,” kata Eva dalam seminar ‘Pernikahan Anak dan Beragam Risikonya’ dikutip dari laman resmi IPB, Senin (14/3/2022).
Selain itu, kata Eva, media sosial juga memicu maraknya pernikahan anak. Sebab, muncul persepsi bahwa pernikahan dini bisa meringankan beban orang tua dan menjadi hal yang membanggakan.
“Media sosial juga menjadi faktor pemicu, selain faktor budaya yang mempersepsikan bahwa menikah sedini mungkin dapat meringankan beban orang tua dan menjadi kebanggaan keluarga. Terutama jika anak perempuan dapat menikah dengan pria kaya,” ucap awardee Australia Alumni Grant Scheme 2021 ini.
Eva menekankan bahwa menikahkan anak pada usia di bawah 19 tahun adalah sebuah pelanggaran hukum. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk itu, ia mengajak masyarakat untuk menghentikan pernikahan anak dengan sosialisasi, baik pada anak remaja atau orang tua.
“Saya mengajak seluruh pengurus dan anggota karang taruna maupun kader yang memiliki kedekatan secara sosial budaya dengan remaja di wilayah Kecamatan Dramaga, Cibungbulang dan Leuwisadeng untuk semakin giat menyuarakan stop pernikahan anak, baik kepada remaja maupun kepada orang tua mereka,” ujar dia.
Menurutnya, hal ini sangat penting karena pernikahan anak dapat menyebabkan beragam risiko yang membahayakan, mulai dari aspek kesehatan, seperti reproduksi, kehamilan bermasalah, risiko kematian ibu dan anak, risiko melahirkan anak dengan masalah prematur, stunting hingga disabilitas.
Terakhir, Eva menekankan bahwa pernikahan anak bukan lah solusi untuk keluar dari lubang kemiskinan. Sebab hal itu justru membuka permasalahan kemiskinan yang baru.
“Ada risiko munculnya permasalahan psikologi atau mental bahkan risiko sebagai korban kekerasan. Selain itu, pernikahan anak bukan sebagai suatu solusi keluar dari permasalahan kemiskinan. Justru pernikahan anak dapat menghasilkan masalah sosial ekonomi baru di masyarakat yang harus segera diatasi bersama,” tutup dia.
Editor: Puti Aini Yasmin