Dugaan Korupsi Pertamina, Praktisi Hukum: Belum Ada Temuan BPK Terkait Kerugian Negara
JAKARTA, iNews.id - Kejaksaan Agung tengah mendalami kasus dugaan korupsi Pertamina dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama periode 2018 hingga 2023 belum melangkah ke meja hijau.
Praktisi Hukum, Petrus Selestinus menganggap dalam penyidikan kasus ini, banyak menimbulkan tanda tanya besar, karena kasus ini baru diungkap setelah berlangsung selama lima tahun.
“Sebagai kasus korupsi, kita tahu di Pertamina sendiri pengawasan berlapis-lapis, di Kementerian BUMN juga seperti itu ada instrumen yang namanya pengawasan, tapi kenapa ini baru terungkap sekarang,” tuturnya dalam program talkshow Speak After Lunch yang disiarkan iNews.
Kejagung masih melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan menetapkan sembilan orang tersangka di antara enam petinggi Pertamina dan tiga orang dari sektor swasta sebagai tersangka dalam kasus ini.
Petrus menuturkan, dalam kasus ini melihat ini sebagai fakta, tidak ada penjelasan dari BPK maupun BPKP bahwa telah ada kerugian negara yang dijelaskan secara resmi atau klarifikasi.
“Apakah kasus ini sudah diaudit atau belum, namun disayangkan dalam kasus ini sudah ada beberapa orang ditetapkan sebagai tersangka maka ini di kualifikasi merupakan unprofessional conduct dan/atau maladminstrasi penyidikan,” ujarnya.
Kejagung telah menetapkan pihak swasta yang menjadi tersangka dalam kasus ini yakni Muhammad Kerry Adrianto Riza selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; serta Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Petrus menilai jika suatu kasus sudah ditetapkan tersangkanya, kemudian unsur kerugian negara adalah unsur esensial dalam tindak pidana korupsi, namun dalam kasus ini belum ada atau belum dijelaskan.
“Bagaimana jika nanti hasil audit BPK mengungkap tidak ada kerugian negara karena ini bisa saja bukan tindak pidana korupsi,tetapi ini pelanggaran UU pelanggaran konsumen bahwa bensin harusnya dicampur dengan zat-zat tertentu untuk meningkatkan kualitasnya tapi justru dicampur dengan bahan lainnya yang dikeluhkan beberapa pihak,” tuturnya.
Maka sembilan orang yang telah ditetapkan tersangka ini bisa saja dikenakan UU pelanggaran konsumen namun dalam kasus ini ditarik menjadi kedalam UU tindak pidana korupsi.
Proses Blending BBM oleh Pertamina Tidak Menyalahi Aturan
Dalam kasus tuduhan mengubah kualitas RON 88 dan RON 90 menjadi RON 92 ini, sebagai bentuk tuduhan Kejaksaan Agung tersebut tidak berdasar.
“Dalam kasus ini, bukanlah pengoplosan. Melainkan blending, praktik sah dalam industri migas yang diatur oleh hukum. Jika oplosan campuran tidak sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM, namun blending sesuai aturan, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas BBM itu sendiri, sesuai Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004,” ucapnya.
Dampak Isu Pengoplosan Bisa Rugikan Pertamina
Praktisi hukum tersebut menganggap kasus ini bukan tindak pidana korupsi melainkan soal UU Perlindungan konsumen. Namun awal mula Kejaksaan mengeluarkan statement yang dilakukan pertamina adalah pengoplosan membuat konsumen atau masyarakat langsung hilang kepercayaan terhadap SPBU Pertamina dan merugikan Pertamina.
Pada 4 Maret 2025, Kejaksaan Agung meralat informasi sebelumnya terkait dugaan pengoplosan BBM oleh Pertamina.
Dalam pernyataannya, Kejaksaan Agung menegaskan, kasus yang sedang diselidiki adalah praktik blending, bukan pengoplosan seperti yang diberitakan sebelumnya.
“Harus ada pertanggungjawaban dari Kejaksaan Agung terkait statement awal yang mengatakan kasus ini pengoplosan. Maka Kejaksaan Agung harus mempertanggungjawabkan dampak dari pertanyaan tersebut, Pertamina bisa rugi yang dimana kerugiannya bisa melebihi angka yang dituduhkan terhadap 9 tersangka tersebut,” ucapnya.
Dia berharap, dengan perkara besar yang sedang ditangani Kejaksaan Agung yang mengemban tugas sebagai kekuasaan penegakkan hukum, tidak mudah terintervensi dalam menjalankan tugasnya.
Editor: Anindita Trinoviana