Fatayat NU Gandeng Tokoh Lintas Agama Tangani Kasus Stunting
JAKARTA, iNews.id- Masih tingginya angka stunting di Indonesia membuat Fatayat NU tergerak untuk melakukan strategi lain sebagai langkah mengatasi. Salah satunya dengan menggandeng tokoh lintas agama dan kepercayaan.
Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini mengatakan, menggandeng tokoh lintas agama dan kepercayaan didasari pemikiran bahwa mereka memiliki peran strategis di pengikutnya masing-masing.
Menurut Anggia, kasus stunting tentu tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah sendiri. Perlu kerja bersama lintas sektoral untuk membangun percepatan penurunan angka stunting atau kurang gizi kronis itu.
"Ini di antara beberapa inisiatif gerakan yang bisa kita lakukan. Kami berharap pemerintah yang punya jangkauan luas bisa melakukan lebih banyak hal lagi" ujar Anggia di sela-sela acara Workshop Lintas Agama Cegah Stunting di Jakarta, Kamis (31/5/2018). Acara berlangsung dua hari dimulai pada 30 Mei 2018.

Data terakhir yang berhasil dihimpun, tercatat sebanyak 37,2 persen anak Indonesia mengalami stunting. Artinya, 3 dari 5 anak kekurangan gizi. Sementara efek anak mengalami stunting antara lain memiliki produktivitas yang rendah karena kondisi IQ dan kelainan hormonal. Bila tak ada langkah-langkah penanganan komprehensif, beban negara akan bertambah. Diperkirakan butuh anggaran sekitar Rp300 triliun per tahun untuk mengendalikan kasus ini.
"Jadi acara ini digagas untuk mengajak seluruh tokoh lintas agama terlibat aktif menyampaikan dakwah kesehatan pada jamaahnya. Salah satunya ya bicara masalah stunting" ujarnya.
Dalam acara ini hadir puluhan tokoh lintas agama dan aliran kepercayaan, seperti Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Pelkesi, PHDI, Aliran Kepercayaan Bahai, Matakin dan beberapa organisasi Islam. Para tokoh lintas agama dan kepercayaan bersepakat kasus stunting merupakan pekerjaan rumah bersama demi menyiapkan masa depan bangsa.
Lily, salah satu pengurus Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) menyampaikan apresiasinya atas penyelenggaran workshop ini. Menurutnya, seorang tokoh agama yang menjadi sumber informasi masyarakat memang harus mampu menjelaskan berbagai isu termasuk stunting. "Saya berharap para tokoh agama menyampaikan isu ini dalam ajarannya agar tidak ditemukan lagi kasus gizi buruk anak ke depannya" kata dia.
Bentuk keseriusan para tokoh agama ini adalah mereka berhasil menyusun beberapa rekomendasi. Ada tiga domain utama yaitu advokasi, perubahan perilaku, dan monitoring atau pengawasan.
Dalam hal advokasi, tokoh agama harus mampu membangun komunikasi intensif dengan berbagai pihak, mulai pemerintah, swasta, sektor pendidikan, media dan pihak lainnya yang terkait. Tujuannya untuk menjaring kerja sama mengatasi masalah stunting.
Kedua, faktor perubahan perilaku sebagai kunci utama. Penyadaran masyarakat untuk hidup sehat yang berujung pada perubahan perilaku ini menjadi tantangan terbesar. Sebab faktor lingkungan dan keluarga adalah kunci terbentuknya perilaku itu sendiri.
Sementara, kuatnya akar budaya yang dipercayai masyarakat merupakan penghambat. Karena itu, tokoh agama harus bisa menyajikan data dan informasi yang akurat, mudah dicerna dan masuk dalam logika masyarakat. Selain itu, tokoh agama perlu menjadi contoh langsung atas perubahan perilaku tersebut.
Ketiga, monitoring adalah tugas pemuka agama dalam mengontrol, mengawasi sekaligus mendampingi pelaksanaan tugas mulia ini. Dengan demikian kekuatan dan kelemahan apa yang dimiliki atau kendala apa saja yang bisa dievaluasi. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat merasa nyaman dan mudah menerima sesuatu baru dengan baik.
Anggia mengingatkan bahwa tugas mengatasi stunting ini termasuk perintah semua agama, yaitu bagaimana manusia mampu menyiapkan generasi yang berkualitas dan tidak meninggalkan generasi yang lemah.
Atas dasar itu, Anggia optimis dengan bergandengan tangan antarpemuka agama ini masalah stunting bisa dikendalikan, tentunya dengan peran serius dari pemerintah.
Editor: Zen Teguh