Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Prabowo Kenang Pertempuran 10 November di Surabaya, Puji Keberanian Para Pahlawan
Advertisement . Scroll to see content

FRD, IKOHI dan Kawan’98 Tuntut Presiden Jokowi Selesaikan Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998

Kamis, 18 Januari 2024 - 13:20:00 WIB
FRD, IKOHI dan Kawan’98 Tuntut Presiden Jokowi Selesaikan Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998
Forum Rakyat Demokratik untuk Keadilan Korban Penghilangan Paksa (FRD) dan IKOHI mengadukan Presiden Joko Widodo ke Ombudsman. (Foto Istimewa).
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Forum Rakyat Demokratik untuk Keadilan Korban Penghilangan Paksa (FRD), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Kawan ‘98 mengadukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke lembaga Ombudsman. Jokowi dinilai mengabaikan rekomendasi DPR untuk menyelesaikan kasus penghilangan secara paksa 1997-1998 selama pemerintahannya.

Juru Bicara FRD Petrus H Hariyanto mengatakan, pengabaian ini menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. FRD menuntut Presiden Jokowi segera melaksanakan rekomendasi DPR dalam surat Nomor PW.01/6204/DPR RI/IX/2009 kepada Presiden RI itu.

"Kami menuntut Presiden Jokowi untuk melaksanakan rekomendasi DPR kepada Presiden RI terkait Penanganan Pembahasan atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998 sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kejahatan penghilangan paksa dan menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia," kata Petrus, Kamis (18/1/2024).

Petrus mengatakan, Presiden Jokowi selama sembilan tahun pemerintahannya terutama pada periode ke-2 sejak 2019, tidak punya inisiatif dan niat politik serius untuk menjalankan rekomendasi DPR tersebut. Presiden dinilai malah semakin memperkuat impunitas pada para pelaku penghilangan paksa aktivis 1997-1998 yang ditunjukkan melalui tiga fakta politik.

Sekjen IKOHI Zaenal Mutaqien mengatakan, pertama, pada 23 Oktober 2019 Presiden Jokowi mengangkat Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) dalam Kabinet Indonesia Maju Masa Jabatan 2019-2024. 

"Dengan terpilihnya Prabowo menjadi Menhan, upaya penuntasan kasus HAM masa lalu menjadi tertutup," kata Zaenal Mutaqien.

Petrus menambahkan, sosok Prabowo Subianto harus bertanggung jawab atas kasus penculikan tersebut. "Prabowo yang kala itu berpangkat Letnan Jenderal Pangkostrad dikeluarkan oleh institusi ABRI karena bertanggung jawab pada kasus penculikan bersama Tim Mawar, sebuah tim kecil yang dibentuk Komando Pasukan Khusus."

Kedua, langkah memperkuat impunitas Jokowi semakin ditunjukkan saat mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 166/TPA Tahun 2020 tentang pemberhentian dan pengangkatan dari dan dalam jabatan tinggi madya di lingkungan Kementerian Pertahanan.

"Kepres 166 tersebut mengangkat dua mantan anggota Tim Mawar yaitu Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis dan Brigjen TNI Dadang Hendra Yudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan di Kementerian Pertahanan," kata Petrus.

Menurut Fatia Maulidiyanti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Kepres 166 tersebut berpotensi untuk melemahkan makna penegakan hukum di Indonesia dan dapat mendorong terjadinya kembali pelanggaran HAM. 

"Dengan langkah tersebut, Presiden Jokowi semakin melanggar janjinya, terutama dalam mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta pelanggaran HAM masa lalu di negara ini," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.

Ketiga, Presiden Jokowi dinilai tampak bersikap tidak netral dalam Pilpres 2024 secara tidak langsung dengan memberikan dukungan politik kepada Capres Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putranya sendiri, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Cawapres 2024. Dukungan ini dinilai sebuah kemunduran demokrasi karena akan memperkuat politik dinasti dan memperkuat impunitas dari capres yang terlibat dalam kejahatan HAM berat di masa lalu. 

Sementara Wakil Ketua Kawan ‘98 Ki Joyo Sardo mengatakan, Presiden Jokowi dinilai telah mencederai janji Nawa Cita dalam program prioritas untuk menyelesaian kasus-kasus HAM. 

Dalam visi, misi dan agenda prioritasnya Nawa Cita, agenda HAM dimuat dalam poin 4, bagian 9 serta pada poin 11 huruf (f) yang menyebutkan; "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; Kerusuhan Mei, Trisakti Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok dan Tragedi 1965."

FRD, IKOHI dan Kawan ‘98 menilai Indonesia dalam suasana kemunduran demokrasi dan presiden yang memprioritaskan politik dinasti keluarganya. Melalui Ombudsman, mereka meminta agar Presiden Jokowi segera menjalankan empat rekomendasi DPR RI 2009 sebelum Pemilu 14 Februari 2024.

Pertama, Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Ketiga, merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, sebagai bentuk komitmen dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa.

FRD, IKOHI dan Kawan ‘98 meminta Ombudsman untuk mendesak presiden agar memprioritaskan pelaksanaan pengadilan HAM ad hoc dan pembentukan tim pencarian 13 aktivis yang masih hilang sebelum 14 Februari 2024.

Editor: Maria Christina

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut