Hak Warga Terancam, Pakar Siber: Pemerintah Harus Tinjau Ulang Kebijakan Matikan TV Analog
JAKARTA, iNews.id - Pakar siber Dr. Pratama Persadha mengatakan program TV digital seharusnya didukung dengan sosialisasi serta pemerataan hardware TV digital yang baik. Pasalnya tidak semua masyarakat memiliki STB TV digital dan juga tidak semua televisi yang dimiliki masyarakat sudah mendukung TV digital.
"Karena itu saat siaran TV analog di Jabodetabek dimatikan, masih banyak masyarakat yang kebingungan karena tidak bisa menonton acara televisi," kata Pratama dalam keterangannya, Sabtu (5/11/2022).
Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSREC (Communication and Information System Security Research Center) ini mencontohkan, program STB TV digital seharusnya bisa dibagikan secara luas ke masyarakat yang membutuhkan serta kesulitan membeli STB TV digital. Bahkan bila perlu, peredaran dan penjualan televisi wajib sudah support TV digital.
"Pelaksanaannya harus didukung lintas kementerian, jadi Kominfo bekerja sama dengan kementerian lain misalnya Kementerian Perindustrian soal kewajiban televisi yang dijual di Indonesia harus support TV digital," ujar Pratama.
Kesiapan teknis migrasi TV digital juga menurutnya harus merata. Prinsipnya kata dia jangan ada masyarakat yang dirugikan dengan program TV digital ini.
"Win-win solution bagi semua pihak harus dipikirkan pemerintah, agar masyarakat tidak tiba-tiba kehilangan akses informasi. Jadi pemerintah harus meninjau ulang soal mematikan TV analog sepanjang hal-hal yang merugikan masyarakat ini belum diselesaikan," kata dia.
Dengan hilangnya hak akses informasi warga, maka menurutnya ini adalah bentuk ketidakadilan pemerintah terhadap masyarakat. Karena saat infrastruktur TV digital belum merata, TV analog sudah dimatikan.
Program pemerintah untuk memberikan set top box kepada masyarakat yang tidak mampu juga masih belum selesai. Bahkan proses pemberian STB ini cenderung lambat dan belum merata.
"Padahal hak mendapatkan informasi seluruh warga negara Indonesia dijamin oleh UUD 1945," kata Pratama.
Editor: Reza Fajri