Harga Sawit Nasional Merosot, Ini Usulan Serikat Petani Indonesia
JAKARTA, iNews.id – Serikat Petani Indonesia (SPI) sependapat dengan pandangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa merosotnya harga sawit nasional akibat ketergantungan terhadap pasar global. Diperlukan strategi agar petani tidak terus merugi.
Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan, merosotnya harga sawit karena beberapa negara yang selama ini membeli ke Indonesia melakukan pembatasan-pembatasan.
“Ini karena negara-negara tersebut juga ingin mengembangkan komoditas pertaniannya yang bisa menggantikan minyak sawit,” kata Henry dalam keterangan tertulis yang diterima iNews.id, Senin (17/12/2018).
Dia menjelaskan, SPI juga setuju dengan imbauan Presiden Jokowi agar para petani Indonesia tidak tergantung pada sawit tapi mengonversi tanamannya untuk tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai dan hortikutura. Selain itu, tanaman buah-buahan seperti durian, manggis, juga tanaman sayur, seperti jengkol.
Konversi juga bisa dilakukan ke tanaman enau untuk produksi gula. Sisi positifnya, tanaman-tanaman tersebut bisa mendorong dikembangkannya peternakan lebah madu.
Sawit merupakan salah satu dari hasil perkebunan yang harga jualnya mengkhawatirkan. Menurut Misngadi, petani SPI asal Riau, harga tandan buah segar (TBS) sawit berkisar di Rp600–Rp 800 per kilogram (kg).
Tak jauh berbeda dengan Riau, Wagimin, petani SPI asal Asahan, Sumatera Utara juga mengeluh karena harga TBS di daerahnya berkisar Rp600–Rp900 per kg. “Kalau harga segitu kami petani pasti merugi, minimal di Rp1.200 per kg,” kata Wagimin.
Henry berharap pemerintah memberikan dukungannya tidak hanya untuk menaikkan harga kelapa sawit tapi juga membantu petani agar bisa mengkonversi lahannya ke nonsawit, terutama di masalah dana.
“Petani-petani kita punya kapasitas untuk mengonversinya, baik untuk jangka pendek atau jangka panjang. Kelapa sawit tua bisa ditebang dalam waktu setahun bisa hasilkan jagung, pisang, ini untuk jangka pendek,” tutur Henry.
Menurut dia, sudah banyak petani SPI yang mengonversi lahannya dari sawit ke tanaman pangan, seperti di daerah Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara yang beralih menanam padi.
Henry melanjutkan, kebun-kebun sawit juga bisa dikonversi untuk ladang penggembalaan ternak baik itu sapi, kerbau atau kambing, karena hari ini Indonesia masih impor sapi, kerbau, dan susu dalam jumlah besar.
“Kita sebenarnya tak kesulitan untuk mengonversi lahan perkebunan sawit tersebut karena selama ini SPI sudah memprediksi bakal terjadi hal seperti ini karena terlalu tergantung pada pasar global yang dilakukan oleh rezim pemerintahan sebelumnya,” kata dia.
Henry mengingatkan, terjadinya over-production dari tanaman sawit ini dikarenakan pemerintahan sebelumnya tidak memiliki perencanaan dalam menanam seberapa banyak kelapa sawit.
Karena itu, BPS, misalnya, memprediksi luas kebun kelapa sawit mencapai 14 juta hektare lebih, bahkan ada yang memprediksikan lebih dari jumlah tersebut. Perbedaan data ini karena tidak ada perencanaan tersebut. Terkait hal ini, SPI menyambut baik keputusan moratorium kelapa sawit yang dilakukan pemerintahan sekarang.
Henry menambahkan, SPI mengapresiasi langkah pemerintah Jokowi–JK yang ingin menyegerakan pelaksanaan reforma agraria sejati.
“Untuk lahan yang HGU-nya habis ataupun lahan terlantar segera dikonversi ke lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan konsep terapan pertanian agroekologi–pertanian ramah lingkungan, nonmonokultur, organik, menghentikan ketergantungan petani dari input-input kimia, guna menyelamatkan alam," kata dia.
Editor: Zen Teguh