Idul Fitri Mencerahkan Akal Budi

Dr Haedar Nashir, MSi
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2015-2020
BARU saja kita segenap kaum muslimin selesai menunaikan shaum atau puasa Ramadan disertai rangkaian ibadah lainnya sebulan lamanya. Dalam Islam, puasa Ramadan dan ibadah-ibadah lainnya, tidak berhenti pada ritual semata. Ibadah hakikatnya ialah “taqarrub ila Allah” atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah, menjauhi larangan, dan melaksanakan apa yang diizinkan-Nya sebagaimana disunnahkan oleh Rasulullah.
Dari makna ibadah tersebut tebentuk kesalihan seorang muslim yang memiliki hubungan baik dengan Allah (habluminallah) sekaligus hubungan dengan sesama (habluminannas) dan lingkungannya, sehingga terpancar rahmat bagi semesta alam.
Ibadah puasa bertujuan agar menjadikan orang beriman yang menjalankkannya menjadi insan bertakwa sebagaimana firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (Qs Al-Baqarah: 183).
Pertanyaannya, apa yang membekas dalam diri dengan puasa dan rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan setiap tahun itu? Sebuah pertanyaan yang memerlukan refleksi diri setiap muslim yang berpuasa, baik selaku individu maupun kolektif. Benih rohani apa yang dapat ditanam dan dikembangkan dalam kehidupan umat muslim khususnya di negeri yang mayoritas beragama Islam ini.
Jawaban normatifnya tentu setiap muslim atau umat Islam makin bertakwa karena sudah tergembleng sebulan setiap setahun Idul Fitri sehingga terjadi akumulasi kualitas ketakwaan yang kokoh. Takwa yang menjadi tujuan puasa, bukan hanya berkaitan dengan iman namun menyangkut hubungan dengan sesama.
Di antara ciri orang bertakwa ialah menahan marah dan memberi maaf kepada sesama (Qs Ali Imran:134-135). Orang bertakwa selain beriman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Nabi, iman Hari Akhir, dan menegakkan salat, juga mereka yang berzakat,memberi kepada orang miskin, dan berbuat baik kepada sesama (Qs.Al-Baqarah: 177).
Insan bertakwa selalu bertaqarrub kepada Allah dan menjalani kehidupan dengan benar, baik, dan patut sesuai tuntunan ajaran Islam. Insan muttaqin itu senantias beriman, berilmu, dan beramal shalih dengan sepenuh ati untuk meraih kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Orang bertakwa itu hidupnya bersih lahir dan batin, disiplin, tanggung-jawab, taat aturan, suka bekerja keras, berani dalam kebenaran, rasa malu ketika salah, serta memiliki kehormatan dan martabat diri yang tinggi selaku manusia yang mulia dan utama.
Insan bertakwa itu mulia perilakunya. Orang bertakwa selalu tergerak untuk berbuat jujur, benar, adil, terpercaya, dan melakukan segala kebaikan untuk dirinya, keluarga, masyarakat, dan umat manusia keseluruhan. Orang bertakwa akan senantiasa menjauhi hal-hal yang salah, buruk, dan tidak pantas dalam kehidupannya.
Puasa dan seluruh ibadah yang dilakukan setiap muslim seperti tadarus Alquran, salat tarawih atau saalat sunnah lainnya, dan berbagai ritual ibadah yang tampak khusyuk secara lahiriah niscaya menjadikannya salih jiwa, pikiran, dan tindakannya.
Lebih-lebih di era media sosial dan politik yang sangat keras atau bebas saat ini, termasuk di tahun politik. Tanamkan jiwa baik terhadap sesama meski yang berbeda agama dan tidak sepaham atau sehaluan pandangan. Hindari ujaran-ujaran yang kasar, keras, panas, dan menyulut situasi konflik di tubuh umat dan bangsa. Jika benar ahli puasa, ahli tadarus Alquran, dan ahli ibadah, maka tampilkan sikap salih dan ihsan yang sejati dan tidak hanya tampak di luar belaka.
Puasa yang bertujuan mencapai derajat takwa membuahkan akhlak mulia. Di tengah suasana kehidupan yang serba terbuka saat ini, diperlukan benteng akhlak mulia sebagai perisai dan pencerah akal budi. Media sosial selain bermanfaat sebagai media interaksi yang cepat dan mudah, pada saat yang sama menjadikan penggunanya seolah bebas berujar apa saja.
Ujaran perseteruan, kebencian, permusuhan, saling hujat, dan hoaks menjadi hal biasa di media daring tersebut. Hubungan sosial menjadi lebih keras sehingga hilang rasa damai, ketenteraman, dan keadaban.
Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan pun mulai terasa adanya peluruhan nilai-nilai utama yang bersumber pada agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur Indonesia. Politik uang, permusuhan, kebencian, ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), provokasi, dan menghalalkan segala cara seakan legal dalam kehidupan politik di tubuh bangsa ini. Karenanya diperlukan pencerahan akal budi sebagai aktualisasi takwa buah dari puasa khususnya bagi kaum muslimin.
Jadikan puasa dengan segala rangkaian ibadah Ramadan dan Idul fitri sebagai jalan rohani untuk mencerahkan akal-budi berbingkai akhlak mulia untuk menebar rahmat bagi semesta alam sejalan misi kerisalahan Nabi untuk “menyempurnakan akhlak mulia” dan menebar “rahmatan lil-‘alamin” dalam kehidupan semesta.
Dalam kehidupan yang dilanda krisis moral maka sangat penting dan menentukan ajaran tentang pencerahan akhlak mulia atau al-akhlaq al-karimah dalam Islam, yang berwujud budi luhur dalam ujaran, sikap, dan perbuatan utama. Pencerahan akal budi berbasis nilai-nilai amanah, adil, ihsan, kasih sayang, dan akhlak mulia lainnya menjadi penting dalam kehidupan yang seringkali paradoks.
Dalam kenyataan Islam atau agama tidak sepenuhnya menunjukkan konsistensi, sebaliknya terjadi hal-hal yang bertentangan antara nilai ajaran dengan perilaku pemeluknya. Islam mengajarkan adil, ihsan, dan kasih sayang, namun para pemeluknya tidak jarang berbuat dhalim, keburukan, dan permusuhan.
Islam mengajarkan kasih sayang, ta’awun, dan ukhuwah, namun pemeluknya berbuat permusuhan dengan sesama insan ciptaan llah, bahkan dengan sesama seiman. Dalam narasi dan amalan orang Islam rajin salat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya secara intensif tetapi sikap dan tindakannya diwarnai amarah, kasar, buruk kata, kebencian, dan permusuhan.
Islam hanya sebatas ilmu dan ajaran verbal tetapi tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata, paradoks beragama seperti itulah yang termasuk beragama yang tidak mencerahkan yang dalam Al-Qur'an tergolong dalam perbuatan yang dimurkai Allah (QS Ash-Shaff: 3).
Pascapuasa dan Idul Fitri setiap muslim penting meningkatkan kualitas akhlak mulia sebagai bagian dari kebaikan imannya. Nabi bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR Abu Daud). Artinya, orang itu disebut mulia atau yang mulia karena di dalam dirinya tersimpan benih akhlak yang baik.
Kemuliaan itu melebur dalam kebaikan perilaku. Dia tahu mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang patut dan tidak patut. Perbuatannya jujur sepenuh hati, tidak asal tabrak, apalagi nifaq. Dalam kemuliaan itu bersenyawa keelokan perilaku. Kata sejalan perilakunya, serta dari dirinya terpancar segala mutiara kebajikan. Orang yang mulia itu menjaga marwah dirinya laksana menjaga mutiara yang berharga.
Puasa Ramadan, Idul Fitri, dan ibadah lainnya meniscayakan kaum muslimin untuk hidup lebih tercerahkan dan berkemajuan. Khusus bagi generasi muda muslim agar hidup lebih seksama dalam mengarungi masa depan penuh tantangan. Jadilah generasi muda “qurrata ‘ayunin” dan “ulul albab” yang senantiasa berzikir dan berpikir, giat ke masjid, berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua, gemar menuntut ilmu, bekerja keras, mandiri, gigih, bertanggungjawab, dan menjadi orang-orang berakhlak mulia sekaligus unggul dalam segala bidang kehidupan.
Kaum muda muslim harus melangkah ke depan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya. Kalau ada masalah selesaikan dengan cara damai dan berkeadaban mulia, jauhi kekerasan dan tindakan-tindakan yang merugikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas. Jadilah generasi yang beriman dan berilmu luas untuk meraih masa depan yang lebih baik dan berdaya saing tinggi sehingga dinaikkan derajat kehidupannya oleh Allah.
Pasca Ramadhan dan Idul Fitri ini marilah semua insan beriman berlomba-lomba beramal kebaikan sebagai perwujudan takwa dalam sepanjang hayat. Karenanya, pasca Ramadhan dan Idul Fitri, setiap insan muslim dapat menjalani kehidupan dengan berhias akal budi yang tercerahkan yang berbingkai akhlak mulia sebagai cermin dari takwa hasil puasa.•
*Disarikan dari Khutbah Idul Fitri 1440 H
Editor: Zen Teguh