Jebakan Algoritma dan Distorsi Realitas Penanganan Bencana
Dr. Firman Kurniawan S.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
KAPAN dimulainya persilangan pendapat antara khalayak yang memperhatikan bencana Sumatra, dengan pemerintah yang sedang menanggulangi bencana? Persilangan pendapatnya, terindikasi sebagai perbedaan realitas yang dihayati masing-masing pihak. Khalayak mengartikulasikan realitas: penanganan bencana berlangsung buruk. Sedangkan pemerintah menyebut, penanganannya terus membaik.
Seluruh persilangan itu, mungkin berawal dari sini: khalayak terhenyak saat Kepala BNPB di awal bencana menyebut, “(Bencana hanya) terlihat mencekam di media sosial”. Mungkin yang dimaksudkannya: keadaan sesungguhnya tak separah tampilan media sosial. Unggahan-unggahan itu, akibat kepiawaian kurasi, mampu dilipatgandakan keparahannya. Semuanya agar memperoleh perhatian khalayak.
Pernyataan yang diucapkan dengan minim data empiris itu, kemudian disesalinya diikuti permintaan maaf. Dia menyebut, merasa surprise ketika menyaksikan jejak bencana di lokasinya. Sangat menyedihkan, yang bahkan lebih mencekam dibanding unggahan media sosial. Walaupun penyesalan telah dilontarkan, khalayak telanjur kecewa.
Demarkasi realitas bencana antara pemerintah dengan khalayak mulai terbentuk. Salah satunya terwakili lewat keheranan yang dilontarkan hakim MK, Saldi Isra. Pernyataan Isra yang dikutip iNews.id, 5 Desember 2025, menyebut: "Saya ini sebetulnya agak merasa sedih juga (dengan) pernyataan seorang perwira tinggi, soal bencana di Sumatera Barat itu. Ini memang diseleksi secara benar atau tidak? Masa bencana dikatakan hanya ributnya di medsos saja".
Perhatian khalayak yang tertancap pada penanganan bencana, diwujudkan sebagai intensifnya perbincangan. Traffic media sosial pada unggahan yang bertema Bencana Sumatera, terindikasi tinggi. Temanya mulai soal penyebab bencana, yang bukan semata disebabkan alam; kesigapan pemerintah mengelola keadaan darurat, dibanding bencana-bencana sebelumnya; keresahan terhadap pernyataan dan aksi tokoh, yang dianggap nirempati; hingga dilangsungkannya penggalangan “warga menolong warga”, demi meringankan beban korban. Di balik semua itu, tersirat posisi yang saling berhadapan.
Acuan informasi yang digunakan masing-masing pihak, juga berbeda. Ini misalnya: saat seorang menteri menanggapi perintah Presiden, untuk segera memulihkan pasokan listrik. Disanggupinya, listrik akan segera tersedia kembali. Lampu-lampu di 93% wilayah bencana, bisa cepat menyala lagi. Dengan pulihnya pasokan listrik, nyata: upaya penanganan bencana maju bertahap. Namun tak lama setelah dinyatakan, ucapan menteri itu dibantah. Khalayak mengunggah keadaan senyatanya dari lokasi bencana yang menunjukkan wilayahnya masih gelap gulita, pasokan listrik nihil. Nyala yang dijanjikan hanya berlangsung sesaat, selama Presiden meninjau lokasi bencana. Sepeninggalnya, listrik padam lagi.
Demikian juga, saat makin kerap muncul pernyataan keadaan di lokasi bencana makin baik. Para korban bencana tangguh dan sanggup menjalani keadaan terbatas di pengungsian. Karenanya, Pemerintah Indonesia tak memerlukan bantuan asing. Sistem di dalam negeri, andal untuk memulihkan keadaan. Pernyataan ini pun disanggah. Khalayak mengedarkan unggahan, belum memadainya kebutuhan dasar korban. Minimnya makanan, air bersih, dan tempat bermukim sementara yang layak. Yang juga kerap terunggah, indikasi rasa putus asa korban. Ini ditandai dengan dikibarkannya bendera putih di depan permukiman warga. Bendera yang menyimbolkan sikap menyerah, terhadap keadaan yang makin sulit. Bahkan, Gubernur Aceh Muzakir Manaf sampai harus mengirim surat kepada PBB, mengajukan permintaan pertolongan bagi warganya.
Masih banyak persilangan yang terjadi, bahkan hingga hari ini. Dapat dibandingkan sajian realitasnya yang saling bertolak belakang. Seluruhnya memperebutkan rasa percaya khalayak. Penanganan yang terus membaik versi pemerintah, beserta bukti-bukti penguat realitas. Di hadapannya, realitas versi khalayak, juga disertai bukti-bukti yang membentuk kepercayaan.
Khalayak saat dikaji lebih dalam, punya karakteristik proses pembentukan realitas yang beragam. Karakterisitik pertama, khalayak yang bersanak-kerabat dengan korban di wilayah bencana. Kelompok ini terbentuk realitasnya terhadap bencana, saat cemas tak tahu nasib kerabatnya. Kerabat yang berhari-hari gagal dihubungi, membuatnya cemas. Bertambahnya jumlah korban yang dinyatakan tewas maupun hilang menaikkan kecemasan itu. Gulungan emosi menyebabkan kelompok ini menghayati bencana sebagai keadaan yang kian memburuk. Alih-alih membaik, seperti pernyataan pemerintah.
Kedua, khalayak yang berasal dari kelompok peduli nasib korban. Kelompok ini ingin segera bertindak nyata, memberikan pertolongan. Aktivitasnya dimulai dari pengumpulan donasi; mendatangi korban dan memberikan bantuan; menyediakan tenaga yang dibutuhkan di lokasi bencana; hingga mencoba memulihkan fungsi ekonomi wilayah. Ini adalah kelompok relawan. Realitas yang dihadapi kelompok ini, akses ke wilayah bencana sangat sulit. Bahkan mustahil ditembus. Seluruhnya lantaran putusnya jaringan internet. Fasilitas yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan awal korban, maupun kebutuhannya dari jarak jauh. Ini diperparah oleh tiadanya pasokan listrik, maupun putusnya jalan raya dan jembatan. Seluruhnya hancur lebur, tergulung dahsyatnya material yang berlalu bersama air. Gerak cepat yang direncanakan, sulit diwujudkan. Kemudian terbangun realitas parahnya keadaan bencana dengan minimnya bantuan. Keadaan makin memburuk bersamaan dengan bertambahnya waktu. Ini menimbulkan kekhawatiran.
Sedangkan kelompok ketiga, adalah khalayak yang bukan berasal dari kategori pertama maupun kedua, namun intensif mengikuti bencana. Ini adalah posisi netizen yang terbanyak, menonton di luar arena, namun membentuk realitas. Karena jumlahnya sangat besar, spektrum subkarakteristiknya juga beragam. Mulai dari yang politis hingga apolitis, juga yang propemerintah hingga yang oposisional terhadap pemerintah. Penghayatannya dalam membentuk realitas, bergerak bagai pendulum. Bergantian dari unggahan versi pemerintah ke unggahan dari korban maupun relawan di lapangan. Walaupun informasinya dari dua sumber yang berbeda, namun keteguhan persepsinya tak mudah digoyahkan.
Jika sejak awal menerima realitas “penanganan bencana terus membaik”, sikapnya akan tetap seperti itu. Sikap ini diikuti produksi, distribusi dan konsumsi unggahan untuk meeguhkan rasa percayaanya. Sebaliknya, jika yang diterima "penanganan bencana tak memadai", unggahan-unggahan yang merusak persepsinya, bakal ditepis. Konsisten terhadap realitas yang dihayati, akan membuatnya nyaman. Pada kenyataannya, dua pilihan sikap itu dapat terbentuk akibat perangkap algoritma. Tak sadar, realitas yang dihayati adalah pabrikasi algoritma platform. Namun demikian, produksi, distribusi maupun konsumsi unggahan oleh kelompok ini, menyumbang realitas yang diterima luas. Realitas yang silih berganti, untuk dihayati.
Implikasinya, menjawab apakah penanganan bencana dilakukan dengan memadai atau tidak, tak mudah dijawab. Unggahan pembentuk realitasnya, sangat riuh. Seluruh rangkaiannya menyajikan versinya masing dan punya alasan untuk dipercaya. Akhirnya jadi paradoks. Saat tersedia berbagai versi untuk dipercaya, berarti tak ada realitas yang dapat dijadikan sebagai acuan. Realitas cair ini tergantung penghayatan para pengikutnya.
Keadaan realitas yang sulit dijadikan sebagai acuan itu dapat mengubah krisis. Krisis yang semula diakibatkan bencana berkekuatan alam menjadi krisis berkekuatan sosial. Ini juga terjadi di berbagai lokasi bencana di dunia. Misalnya rasa lapar, akibat lama tak memperoleh pasokan makanan memunculkan penyerbuan pada tempat-tempat yang diduga menyimpan makanan dan kebutuhan hidup; terjadinya kekerasan terhadap sesama korban bencana yang hidupnya dianggap lebih baik; juga pengadangan dan perampasan bantuan yang sedang didistribusikan. Walaupun seluruhnya dapat dipahami sebagai upaya mempertahankan hidup, konflik sosialnya memperburuk upaya pemulihan bencana. Penanganan yang cepat jadi kunci untuk mencegah terbukanya pintu, menuju krisis multidimensional.
Indikasi-indikasi terjadinya krisis multidimensional tampak bermunculan. Selain rasa lapar dan tak jelasnya nasib pascabencana yang mengendap di benak korban, muncul sikap dengan aneka penyimbolan. Pengibaran bendera putih yang menyiratkan putus asa menanggung penderitaan, disusul maraknya pengibaran bendera sebuah gerakan maupun lontaran rasa kecewa terhadap penanganan bencana yang dilakukan. Jika seluruhnya bukan kekhawatiran yang berlebihan, tampaknya bukan sekadar krisis sosial yang dihadapi. Gulungan emosi yang tak tertangani cepat dapat memicu krisis ke segala arah.
Seluruh persilangan realitas akibat pabrikasi unggahan media sosial, juga oleh jebakan algoritma, sesungguhnya bukan gejala baru. Shami Malik, 2024, lewat "Reality of Social Media", mengilustrasikan adanya dua orang yang berbeda, dengan relasi yang kuat. Relasi yang bahkan terbentuk sejak masa kecil keduanya. Namun ketika keduanya mengakses dunia lewat perangkat berbeda yang dimilikinya, realitas yang dihayatinya juga berbeda. Masing-masing punya bagian dunia yang dipilih untuk dihayati. Unggahan yang dikonsumsi juga akibat umpan algoritmanya, membentuk dunianya.
Itu pula yang terjadi pada khalayak yang mengikuti bencana Sumatra, memilih realitas cair yang dihadapinya. Seluruhnya kemudian berimplikasi pada pandangan terhadap cara pemerintah menangani bencana. Pasti ada distorsi. Namun di manakah menemukan realitas yang sejati, agar distorsi itu tidak lebar?
Editor: Maria Christina