Kasus Sriwijaya Air SJ182 Jatuh, KNKT: Pilot Tak Sadar Kemudi Miring ke Kanan tapi Pesawat Belok Kiri
JAKARTA, iNews.id - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap sejumlah hal yang menjadi penyebab insiden pesawat jatuh maskapai Sriwijaya Air Boeing 737-500 dengan nomor penerbangan SJ182 di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada 9 Januari 2021. Salah satunya ketidakmampuan pilot dalam mengantisipasi kejadian yang tidak diduga.
Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan, Kapten Nurcahyo Utomo menjelaskan pilot terlalu percaya dengan sistem otomatisasi kemudi.
"Perubahan yang terjadi di cockpit antara lain perubahan posisi thrust level, penunjukan indikator mesin, dan perubahan sikap pesawat yang tergambar pada EADI (Electronic Attitude Direction Indicator) yang tidak disadari oleh pilot. Hal ini mungkin disebabkan karena kepercayaan (complacency) terhadap sistem otomatisasi," ujarnya dalam konferensi pers laporan hasil investigasi di kantor KNKT, Jakarta Pusat, Kamis (10/11/2022).
Nurcahyo menjelaskan pada saat pesawat berbelok ke kanan dan kemudi miring ke kanan dapat membuat pilot berasumsi pesawat berbelok ke kanan sesuai yang diinginkan. Kondisi tersebut merupakan konfirmasi bias yaitu kondisi di mana seseorang mempercayai informasi yang mendukung opini atau asumsinya.
Complacency terhadap sistem otomatisasi dan konfirmasi bias kemungkinan telah menyebabkan dikuranginya monitor pada instrumen dan keadaan lain yang terjadi.
"Pada saat kemudi miring ke kanan, sementara itu pesawat berubah menjadi miring dan berbelok ke kiri. Lalu disusul peringatan kemiringan yang berlebih (bank angle warning). Selanjutnya A/P menjadi non aktif (disengaged) dan kemudi dimiringkan ke kiri. Kurangnya monitonng pada instrumen," katanya.
Kata dia, kemudi yang miring ke kanan mungkin telah menimbulkan asumsi pesawat miring ke kanan. Hal itu menyebabkan tindakan pemulihan tidak sesuai.
Kondisi tersebut bisa terjadi dimulai dari sistem autothrottle tidak dapat menggerakkan dorongan level kanan akibat adanya gaya gesek atau gangguan lain pada bagian mekanikal dorongan level kanan.
"Menjelang ketinggian 11.000 kaki, permintaan tenaga mesin semakin berkurang, hal ini membuat thrust lever kiri semakin mundur," ujarnya.
Diketahui, autothrottle merupakan sistem pengatur gas yang memungkinkan pilot menentukan kecepatan dan dorongan pesawat secara otomatis. Nurcahyo menuturkan, pesawat Boeing 737-500 itu telah dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) yang berfungsi menonaktifkan autothrottle jika terjadi asymmetry untuk mencegah perbedaan tenaga mesin yang lebih besar.
"Penonaktifan autothrottle terjadi antara lain jika flight spoiler membuka lebih dari 2,5” selama minimum 1,5 detik. Kondisi ini tercapai pada pukul 14.39.40 WIB saat pesawat udara berbelok ke kanan dengan sudut 15”, tetapi autothrottle tetap aktif dan menjadi nonaktif pada pukul 14.40.10 WIB," ucapnya.
Keterlambatan ini kata Nurcahyo diyakini karena flight spoiler memberikan informasi dengan nilai yang lebih rendah disebabkan karena penyetelan (rigging) pada flight spoiler. Penyetelan pada flight spoiler ini belum pernah dilakukan di Indonesia.
"Asymmetry menimbulkan perbedaan tenaga mesin yang menghasilkan gaya yang membuat pesawat udara pesawat bergeleng (yaw) ke kiri," ucapnya.
Secara aerodynamic, YAW akan membuat pesawat miring dan berbelok ke kiri. Gaya miring yang membelokkan pesawat udara ke kiri yang dihasilkan oleh perbedaan tenaga mesin menjadi lebih besar dari gaya yang membelokkan ke kanan yang dihasilkan oleh aileron dan flight spoiler. Akibatnya pesawat berbelok ke kiri.
Keterlambatan CTSM untuk menonaktifkan autothrottle menyebabkan perbedaan tenaga mesin semakin besar, dan pesawat udara berbelok ke kiri yang seharusnya ke kanan. Deviasi berbeloknya pesawat udara tidak sesuai dengan yang diinginkan merupakan indikasi pesawat udara telah berada pada kondisi upset.
Editor: Rizal Bomantama