Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Prabowo di KTT ASEAN: Dorong Perdamaian di Myanmar dan Redam Ketegangan Thailand-Kamboja
Advertisement . Scroll to see content

Kepala BIN Budi Gunawan Beberkan Strategi Melawan Post Truth yang Ancam Demokrasi

Minggu, 12 Desember 2021 - 14:27:00 WIB
Kepala BIN Budi Gunawan Beberkan Strategi Melawan Post Truth yang Ancam Demokrasi
Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan meluncurkan buku Demokrasi di Era Post Truth. (Foto ist).
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan menguraikan post truth yang bisa mengancam negara demokrasi termasuk Indonesia. Kebohongan yang diulang-ulang sehingga dianggap fakta.

"Ancamanbagi demokrasi ada empat kategori disinformasi post-truth yang diproduksi dan disirkulasikan, yaitu disinformasi politik, nonpolitik, hiburan, dan demi keuntungan finansial," kata Budi Gunawan dalam keterangan pers, Minggu (12/12/2021).

Majunya teknologi komunikasi dan platform media sosial turut memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Sesuatu yang seolah-olah fakta muncul cepat bergulir melalui media sosial. 

Celakanya, masyarakat mudah memercayai info bohongan daripada fakta. "Tidak ada upaya pengecekan atas sumber berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka, kini kita sedang berada di era pasca-kebenaran (post-truth)," katanya.

Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan meluncurkan buku Demokrasi di Era Post Truth. (Foto ist).
Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan meluncurkan buku Demokrasi di Era Post Truth. (Foto ist).

Disinformasi post-truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting.

Demokrasi elektoral yang sehat, kata dia jelas sulit dibangun apabila masyarakat tidak menggunakan kemampuan kritisnya dalam mengonsumsi informasi. Di era ini, emosi dan keyakinan personal lebih penting daripada fakta objektif, sehingga antara kebohongan dan kebenaran sulit diidentifikasi.

Di Indonesia, polarisasi politik, khususnyad alam satu atau dua dekade ini, tampak nyata dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Misal pemilu 2019 lalu, proliferasi dan viralisasi konten-konten kampanye hitam yang cenderung provokatif melalui hoaks dan ujaran kebencian.

“Polarisasi diwarnai dengan produksi serta viralisasi konten-konten negatif seperti hoaks, beritapalsu, dan ujarankebencian, serta kampanye hitam yang memunculkan kegaduhan dan berpotensi mengancam kohesisosial serta keamanannasional,” ujar Budi.

Praktik-praktik politik post-truth juga erjadi secara global. Contohnya di Korea Selatan, saat itu Presiden Park Geun-hye dimakzulkan menjelang pemilihan presiden. Jabatan yang kosong diisi Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn. 

Presiden hasil pemilu diharapkan segera mengisi kekosongan tersebut. Karena itu, pilpres yang sedianya dilaksanakan 20 Desember 2017 dipercepat menjadi 9 Mei 2017.

“Isu pemakzulan menjadi latar belakang kampanye yang panas. Isu itu membuat tema kampanye terpolarisasi antara pendukung dan penentang pemakzulan presiden. Debat capres pun menjadi debat yang tidak terkontrol, sehingga para capres terpancing mengeluarkan beragam berita palsu dan informasi yang menyesatkan,” ucap Budi Gunawan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut Budi Gunawan, demi mengamankan demokrasi elektoral mendatang, perlu adanya perumusan strategi untuk mengantisipasi praktik disinformasi post-truth. Ada empat strategi yang ditawarkan. Pertama, memperkuat intelijen siber di Badan Intelijen Negara. 

Cara ini meliputi strategi penyebaran informasi, pelatihan, serta peningkatan kualitas SDM intelijen tentang dunia siber dan platform media baru. Ini dilakukan agar intelijen Indonesia mampu merespons serta mengantisipasi beragam disinformasi.

Kedua, melakukan intervensi teknologi. Harus ada upaya inovasi teknologi fact-checking oleh negara, industri platform, dunia akademis, maupun masyarakat sipil. Selain itu, teknologi filter konten oleh industri platform untuk mendeteksi konten-konten negatif harus terus diperbarui.

Ketiga, memperbarui regulasi. Seluruh pihak yang berelasi di ruang siber diharapkan dapat tersentuh hukum apabila melakukan pelanggaran. Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetapi perlu penyempurnaan mengikuti kemajuan yang terjadi.

Keempat, mengingat masyarakat mudah memercayai informasi yang bertebaran, Budi Gunawan dan Barito menyarankan pembentukan masyarakat kritis.

"Upaya ini dapat dilakukan melalui edukasi polapikir yang kritis, tidak menelan mentah-mentah informasi yang didapat," katanya.

Editor: Faieq Hidayat

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut