Kisah Okta, Hafizah Yatim Piatu Temukan Harapan di Sekolah Rakyat
JAKARTA, iNews.id - Akhlak yang baik dan sikap ramah menjadi ciri khas pribadi Oktavianti Riska Fitriasari yang akrab disapa Okta. Di balik keceriaan gadis berkacamata itu, tersimpan kisah perjuangan seorang yatim piatu yang juga penghafal Al-Qur'an atau Hafizah.
Okta kehilangan ibunya saat masih duduk di kelas 2 SMP. Tidak lama kemudian, ayahnya menyusul. Sejak itu, dia ikut menjadi penopang keluarga. Bersama nenek yang renta dan pamannya, dia merawat dua adiknya yang masih kecil.
Hari-harinya penuh keterbatasan. Penghasilan neneknya sebagai pemulung tidak menentu, sering kali bahkan tidak ada. Pamannya yang bekerja sebagai 'polisi cepek' pun penghasilannya jauh dari cukup.
Mereka kerap hanya bisa makan sekali sehari. Kondisi prihatin inilah yang membuat Okta tidak ingin berpangku tangan. Sejak duduk di bangku SMP, dia bekerja serabutan seperti berjualan makanan, menjaga toko baju, hingga menjajakan jus buah.
“Kayak beban (bagi mereka) gitu lo. (Makanya) Ingin berusaha bantu (kerja) nenek dan Pakde,” ucap Okta di ruang konseling Sekolah Rakyat Menegah Atas (SRMA) 22 Kota Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Sebagai remaja 17 tahun, Okta cukup tabah menghadapi cobaan hidup. Salah satunya pada 2024 lalu saat rumahnya di Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang ludes terbakar akibat ledakan gas elpiji. Saat kejadian, Okta tengah berada di pesantren Darul Muhlisin, Sawojajar.
“Habis mama enggak ada (meninggal). Terus kebakaran itu,” tuturnya.
Sejak itu, keluarga kecil ini tinggal di rumah kontrakan sembari berusaha memperbaiki rumah ala kadarnya.
Di tengah semua keterbatasan, Okta tetap setia menghafal Al-Qur’an. Hingga kini dia telah menghafalkan enam juz. Saat rindu orang tua datang atau setelah sholat, dia membuka mushaf dan melafalkan ayat demi ayat untuk menenangkan hati.
“Kalau habis magrib ngaji (Al-Qur’an) itu dihafalkan,” kata dia.
Titik terang hadir ketika Okta diterima di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22 Kota Malang.
“Dulu makan satu atau dua kali sehari. Sekarang tiga kali sehari. Di sini juga kalau habis magrib bisa (rutin) ngaji dan menghafalkan Al-Qur’an. Meskipun tidak setoran tapi tetap menghafal,” ucapnya.
Di Sekolah Rakyat, Okta kembali menemukan harapannya. Dia pun aktif mengikuti berbagai kegiatan, disiplin dalam belajar, dan menemukan teman baru.
Meski jalan hidupnya penuh ujian, semangatnya tak pernah padam. Okta tetap memelihara mimpi besarnya menjadi guru agama.
“Di pesantren, para guru mengajarkan kitab-kitab kepada santrinya. Dari situlah muncul keinginan kuat untuk menjadi guru ngaji,” tuturnya.
Lebih dari itu, Okta juga ingin melihat neneknya tersenyum lega, terbebas dari beban hidup.
“Harapan saya bisa sukses, biar nenek enggak susah lagi, biar bisa rawat adik-adik,” harapnya.
Kisah Okta adalah perjalanan seorang anak dari keluarga miskin yang menolak menyerah pada keadaan. Kehilangan orang tua, rumah terbakar, hingga harus bekerja sejak kecil, semua itu tidak mematahkan semangatnya.
Dia tidak sendiri. Sebanyak 75 siswa di SRMA 22 Malang juga menapaki jalan yang sama, dengan asa yang terus tumbuh. Didukung 17 guru dan 3 tenaga pendidikan, serta sarana olahraga, laboratorium, hingga perpustakaan, anak-anak dari keluarga miskin ini mendapat peluang baru untuk meraih cita-cita dan memutus rantai kemiskinan.
Program Sekolah Rakyat yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto menargetkan berdiri di 165 titik pada 2025, dengan kapasitas 15.895 siswa dari keluarga miskin. Sekolah Rakyat hadir bukan sekadar ruang belajar, melainkan rumah yang memberi anak-anak kesempatan untuk bermimpi.
Editor: Aditya Pratama