JAKARTA, iNews.id - Setiap Presiden memiliki cara tersendiri memilih menteri untuk kabinet pemerintahnya. Pendekatannya pun berbeda-beda.
Seperti Presiden ke-2 RI, Soeharto mempunyai cara yang unik menunjuk menteri. Tidak mesti disampaikan secara resmi, tapi juga saat melakukan kegiatan santai bersama maupun melalui sambungan telepon di waktu-waktu yang tidak terduga.
Ketegangan Terus Meningkat, Prancis Tangkap 4 Agen Intelijen Rusia
Seperti dituturkan Harmoko dalam buku Pak Harto The Untold Stories (2012), dia ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Menteri Penerangan dengan cara berbeda-beda. Untuk diketahui, Harmoko menjadi Menteri Penerangan di zaman Orde Baru, dalam tiga periode, yakni sejak 19 Maret 1983–16 Maret 1997.
"Pertama kali Pak Harto meminta saya duduk di kabinetnya, saya dipanggil ke Cendana (kediaman Pak Harto Jalan Cendana kawasan Menteng, Jakarta Pusat)," kata Harmoko dikutip, Kamis (11/5/2023).
Kisah 8 Jemaah Haji Indonesia Jadi Bahan Film Dokumenter Arab Saudi

Namun untuk periode kedua, lain dengan cara pertama. Soeharto tak lagi memanggil Harmoko ke Cendana, tapi disampaikan saat sedang mancing bersama di perairan Pulau Seribu pada akhir 1987.
Selain Harmoko, Pak Harto juga mengajak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan, Menteri Koperasi dan UKM Bustanul Arifin, dan Menteri Kehakiman Ismail Saleh.
Kisah Tragis Bupati Pacitan Mas Sumodiwiryo, Tewas Dikeroyok Berandalan di Pendopo
"Harmoko, kamu masih tetap bantu saya untuk Kabinet Pembangunan V nanti ya," kata Pak Harto saat asyik memancing.
Permintaan itu membuat kaget Harmoko. Sebab, permintaan itu disampaikan saat suasana santai mancing bersama, bukan dalam acara yang resmi. Berbeda dengan periode pertama yang dipanggil ke Cendana.
Kisah Sukses Pemilik MR DIY Ternyata Kakak-Adik Asal Malaysia
Meski bingung dan bertanya-tanya, Harmoko hanya bisa mengiyakan karena pembentukan kabinet adalah hak prerogatif presiden sebagai mandat MPR.
Kisah Ki Ageng Cukil Wanakusuma, Rela Tinggalkan Keraton Yogyakarta demi Bergerilya Lawan Belanda
Cara berbeda juga dilakukan Soeharto saat meminta Harmoko kembali bergabung di Kabinet Pembangunan untuk periode ketiga pada 1993. Permintaan itu disampaikan saat Harmoko dan keluarganya sedang persiapan makan sahur.
"Saya berbicara dengan Pak Harmoko?" tanya ajudan Presiden Soeharto.
"Ya betul, ada apa?" jawab Harmoko.
"Bapak mau bicara," timpal ajudan singkat.
Lalu di ujung telepon terdengar suara Soeharto. "Sedang apa, Harmoko?".
"Sahur Pak, baru selesai salat tahajud," jawab Harmoko.
"Harmoko masih diperlukan membantu saya dalam Kabinet Pembangunan VI," kata Soeharto.
"Tidak salah ini Pak? Saya sudah dua kali di kabinet," tanya Harmoko terkejut.
"Tidak salah. Laksanakan ya!" tandas Soeharto.
"Baik Pak," jawab Harmoko. Soeharto lalu menutup telepon.
Hal yang sama juga dialami Haryanto Dhanutirto. Ketika bersiap berbuka puasa, Deputi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu tiba-tiba ditelepon Presiden Soeharto.
Dia ditunjuk menjadi Menteri Perhubungan dalam Kabinet Pembangunan VI. Masih dalam kondisi bingung, Dhanutirto pun menjawab, "Saya siap membantu bapak," katanya sedikit ragu.
"Baiklah kalau begitu," kata Soeharto lalu hening sejenak.
"Sementara embargo dulu, yang lain belum perlu tahu," kata Pak Harto menyudahi telepon.
Tak hanya sebagai presiden, Soeharto yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Golkar juga tidak asal-asalan dalam memilih calon anggota DPR/MPR-RI dari partainya. Menjelang Pemilu 1992, Sekretaris Dewan Pembina Cosmas Batubara membawa daftar nama yang akan diusulkan menjadi anggota legislatif di tingkat pusat.
Nama-nama dalam daftar itu sudah melalui seleksi ketat sebelum diserahkan kepada Soeharto. Setelah menerima, Soeharto lalu meneliti setiap nama.
Dari daftar yang diusulkan, Soeharto mencoret salah satu nama dengan memberikan penjelasan detail kelemahan-kelemahannya sehingga tidak layak dicalonkan menjadi Anggota DPR/MPR-RI. Dari kejadian itu, Cosmas Batubara mengetahui bahwa Soeharto tidak asal memilih.
Dia menggunakan data-data yang dikumpulkan oleh berbagai sumber, sehingga informasi yang diterima lengkap.
"Menurut saya cek dan ricek itu merupakan hal yang sangat baik. Itu yang menyebabkan, jika Pak Harto sudah memilih orang, biasanya jarang diubah lagi karena proses pemilihannya cukup panjang dan lama. Dengan begitu, apa yang sudah diputuskan biasanya menjadi sangat akurat dan tidak menimbulkan masalah," kata Cosmas Batubara dikutip dari buku yang sama.
Editor: Faieq Hidayat
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku