Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Apakah Kuota Haji Indonesia 2026 Dipotong 50%? Ini Jawabannya
Advertisement . Scroll to see content

Masalah-masalah Haji

Sabtu, 21 Juni 2025 - 16:31:00 WIB
Masalah-masalah Haji
Hasibullah Satrawi, pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam (Foto: Istimewa)
Advertisement . Scroll to see content

Hasibullah Satrawi
Mantan Petugas Haji (Temus) dari unsur mahasiswa tahun 2003 
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam 

SEJATINYA haji adalah ibadah puncak yang dirindukan oleh segenap umat Islam. Terlebih lagi, dalam perjalanan haji terdapat tempat-tempat bersejarah yang memorial bagi umat, khususnya Kakbah sebagai kiblat umat Islam hingga kuburan Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya di Madinah. Dengan demikian, ibadah haji, khususnya bagi yang belum pernah ke Makkah-Madinah sebelumnya, bisa memecah imaji suci yang selama bertahun-tahun ada dalam pikiran umat Islam. 

Justru karena magnet-magnet spiritual tersebut, ditambah dengan banyaknya umat Islam yang melaksanakan ibadah ini, tak jarang haji berubah dari ibadah menjadi musibah akibat setumpuk persoalan yang tak selalu terselesaikan. Terlebih lagi, ibadah haji berlangsung dalam waktu yang serentak dan terbatas, yakni 9-13 Zulhijah. Seluruh jemaah bergerak di jalur dan waktu yang bersamaan, dimulai dari wukuf di Arafah, mabit (berhenti sejenak) di Muzdalifah, melempar Jumrah Aqabah, mabit (bermalam) di Mina (sekaligus melempar jumrah) dan ditutup dengan Tawaf Ifadah. Di sinilah persoalan kerap kali muncul, walaupun banyak masalah lain sesungguhnya sudah muncul jauh hari sebelumnya. 

Tulisan ini membahas masalah-masalah terkait haji selama ini, termasuk persoalan haji tahun ini yang dikeluhkan oleh sebagian jemaah, walaupun tidak selalu diberitakan oleh media-media utama. Harapannya, masalah-masalah ini bisa diantisipasi dan diselesaikan ke depan agar umat dapat menjalankan ibadah haji dengan penuh khidmat dan selamat hingga kembali ke tanah air.   

Kesadaran

Di sebagian kalangan, masalah haji sebenarnya sudah dimulai sejak dalam pikiran dan kesadaran. Haji adalah ibadah wajib hanya bagi yang memiliki kemampuan, khususnya secara materiel. Hal ini sudah jelas disampaikan dalam Al-Qur'an, sunah dan kitab-kitab rujukan. Namun dalam praktiknya, tak jarang masyarakat yang memaksakan diri. Bahkan belakangan, kondisi ini dijadikan sebagai kesempatan oleh pihak tertentu untuk mendatangkan cuan dengan cara memberikan pinjaman untuk membayar setoran awal haji, sekitar Rp25 juta untuk haji reguler dan ratusan juta untuk haji khusus, dan dibayar secara mencicil. Inilah salah satu hal yang menambah persoalan antrean di Indonesia karena jumlah orang berangkat haji jauh lebih sedikit dibanding jumlah orang yang mendaftar untuk melakukan ibadah haji.

Persoalan lain terkait dengan kesadaran dalam masalah haji menyangkut pemahaman tentang pokok-pokok ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar Jumrah Aqabah, mabit di Mina sekaligus melempar jumrah, dan melakukan Tawaf Ifadhah di Masjid Al-Haram. Semua rukun haji ini dilakukan dalam kurun waktu yang sama, dari tanggal 9 hingga 13 Zulhijah. Di luar itu, masih ada kewajiban haji yang harus dilakukan seperti menggunakan kain ihram, miqat dan yang lainnya. Namun karena tidak serentak dalam satu waktu, kewajiban-kewajiban tersebut tidak dibahas dalam tulisan ini.

Persoalannya, sebagian jemaah haji tak memiliki kesadaran tentang prioritas waktu ini. Banyak yang justru memfokuskan waktu dan tenaha untuk kegiatan yang tidak wajib secara ibadah haji, seperti salat lima waktu di Masjid Al-Haram Makkah, beriktikaf dan yang lainnya. Padahal yang wajib dilakukan dalam ibadah haji adalah serangkaian kegiatan sebagaimana telah dijelaskan di atas. 
  
Persoalan lain terkait dengan kesadaran adalah meninggal di tanah suci. Ini persoalan yang paling berat. Persoalan ini berawal dari kesadaran tentang keutamaan Makkah dan Madinah sebagai tanah suci, termasuk meninggal di kedua tanah suci tersebut. Karena keutamaan yang ada, sebagian orang mungkin tidak takut meninggal di tanah suci. 

Kematian tetaplah kematian. Sebagaimana kehidupan, kematian adalah prerogatif Allah Swt. Tak seharusnya kematian dicita-citakan, bahkan mati syahid sekalipun. Sebaliknya, manusia harus menghormati dan mengisi kehidupan sebagai anugerah suci dari Tuhan. Semoga amal-amal mereka yang meninggal dalam proses pelaksanaan ibadah haji diterima oleh Allah dan duka mendalam untuk keluarga yang ditinggalkan.

Menurut hemat penulis, jumlah kematian selama proses ibadah haji bisa dijadikan sebagai salah satu indikator kesuksesan/kegagalan pelaksanaan ibadah haji. Semakin sedikit jemaah yang meninggal di tanah suci, maka semakin sukses penyelenggaraan ibadah haji. Begitu pun sebaliknya. Kematian memang di tangan Allah, tapi manusia memiliki waktu ikhtiar sebelum takdir Allah itu datang.

Kebijakan

Persoalan berikutnya terkait dengan kebijakan, dimulai dari kebijakan yang berada di wilayah Arab Saudi sebagai negara tujuan ibadah haji. Persoalan utama di wilayah ini adalah kuota haji yang sepenuhnya ditentukan oleh Arab Saudi. Sejatinya Arab Saudi bersikap lebih terbuka terkait keputusan kuota haji dan memosisikan negara-negara "pengirim" jemaah haji secara lebih setara agar evaluasi dan koreksi bisa dilakukan secara bersama-sama untuk memperbaiki layanan kepada jemaah haji. 

Persoalan lain yang sering muncul di wilayah Arab Saudi, soal pemondokan atau tempat tinggal jemaah haji selama berada di Makkah dan Madinah. Sebagai tempat "hidup baru", pemondokan menjadi tempat tinggal sekaligus tempat masalah, mulai dari adaptasi sosial dan kebudayaan hingga persoalan makanan atau katering. Ditambah lagi dengan persoalan transportasi yang melayani jemaah dari tempat penginapan ke Masjid Al-Haram Makkah ataupun sebaliknya.

Sementara di wilayah Indonesia sebagai pengambil kebijakan, ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan, terlebih lagi Indonesia berencana mengubah lembaga pelaksanaan haji dan umrah: dari Kementerian Agama menjadi Badan Haji tersendiri. Ini masa-masa transisi yang sangat rawan, apalagi transisi yang ada otomatis dilaksanakan saat persiapan berlangsung. Hal ini tak ubahnya mengganti “mobil rombongan” dalam keadaan berjalan. Kalau tidak betul-betul dipersiapkan sekaligus ahli bisa menimbulkan “kecelakaan besar”. Oleh karenanya, pemerintah harus betul-betul menyiapkan semua ini secara matang. 

Persoalan lain di wilayah Indonesia adalah terkait pengangkatan dan penempatan para petugas haji yang akan melayani jemaah haji selama berada di Makkah-Madinah. Pengangkatan petugas haji harus dilakukan dengan orientasi kebutuhan pelaksanaan ibadah haji daripada karena pertemanan atau kolega, mulai kebutuhan lapangan seperti menangani jemaah yang tersesat di Makkah atau Madinah, hingga kebutuhan perkantoran atau keahlian lain yang bersifat administratif dan teknis. Selama ini, kebutuhan lapangan biasanya sangat mengandalkan tenaga petugas haji dari kalangan mahasiswa di luar negeri, khususnya dari negara-negara Arab dan termasuk di Makkah-Madinah, maupun masyarakat pekerja Indonesia yang tinggal di Makkah-Madinah dan sekitarnya yang dikenal dengan istilah muqimin. Sementara untuk bidang-bidang keahlian diambil dari petugas yang didatangkan dari Indonesia.

Dalam pengalaman penulis, ada hal yang perlu ditambahkan dalam komposisi petugas haji, yaitu aspek kedaerahan. Harus ada proporsi yang diberikan untuk petugas haji dari daerah tertentu sekaligus berpengalaman, khususnya daerah-daerah yang memiliki kuota haji cukup banyak. Hal ini dibutuhkan mengingat Indonesia terdiri dari suku bangsa dan daerah yang berbeda-beda. Tak jarang ada jemaah haji yang hanya berbicara dalam bahasa daerahnya. Petugas yang berasal dari daerah sama sekaligus berpengalaman akan sangat membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh jemaah.

Pelaksanaan

Bagian terakhir dari persoalan haji adalah pada waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji, yaitu dari tanggal 9-13 Zulhijah. Masalah utama pada wilayah ini adalah pergerakan arus massa yang sangat banyak dalam waktu yang kurang lebih bersamaan. 

Tahun ini, sistem multi syarikah yang diterapkan terhadap jemaah haji Indonesia menimbulkan banyak masalah di lapangan. Menurut sebagian sumber, banyak jemaah haji yang harus berjalan kaki dari Arafah hingga ke Mina. Selain karena keterlambatan bus yang akan mengangkut mereka, juga karena kondisi macet parah yang luar biasa. Sebagian jemaah juga diberitakan tidak mendapatkan tenda. 

Masih banyak lagi masalah lain seperti pengangkutan jemaah dari tempat penginapan ke Arafah-Mina yang amburadul. Pun demikian pengangkutan kembali jemaah menuju penginapannya di Makkah yang diceritakan juga kacau balau.

Evaluasi tiga pihak sejatinya bisa dilakukan. Pertama, pihak pemerintah Arab Saudi dan kedua, pemerintah Indonesia. Dua pihak ini bisa melakukan evaluasi dan perbaikan secara lebih setara dan terbuka hingga tidak terjadi kemacetan dan kekacauan seperti tahun ini. Pihak ketiga adalah jemaah haji itu sendiri, khususnya terkait pentingnya mengikuti ketentuan dan arahan dari pihak berwewenang serta beradaptasi dengan kondisi yang ada. Dengan evaluasi semua pihak, potensi-potensi masalah bisa dihindari atau paling tidak diminimalkan.

Editor: Maria Christina

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut