Masalah Sosial Ekonomi Dinilai Jadi Penyebab Tambang Ilegal Sulit Ditertibkan
JAKARTA, iNews.id – Masalah sosial dan ekonomi dinilai menjadi penyebab maraknya fenomena penambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin (peti) di Indonesia. Hal itu juga membuat penertiban tambang ilegal sulit dilakukan oleh aparat kepolisian.
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Kompol Eko Susanda mengatakan, selama pemerintah belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang pendapatannya setara dengan hasil dari aktivitas tambang ilegal, penindakan dari aparat dinilai tidak akan menyelesaikan masalah.
Aparat kepolisian kerap diadang oleh masyarakat saat hendak menutup area penambangan. Pasalnya, lahan tersebut sudah dianggap oleh warga sebagai sumber mata pencaharian. “Kenapa tambang illegal sulit diselesaikan oleh kepolisian? Kalau kami menangkap dia (penambang ilegal), ada ribuan orang yang perlu makan,” ungkap Kompol Eko dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (20/8/2019).
Dia menuturkan, upaya pembinaan bagi para pekerja di tambang ilegal pernah dilakukan lewat pemberian sumbangan perahu gratis agar mereka beralih profesi menjadi nelayan. Namun, lantaran pendapatan mencari ikan di laut tidak sebesar menambang, akhirnya mereka kembali lagi ke tambang ilegal. “Menambang itu, pagi kerja sore sudah tarik uang. Kalau dikasih kapal susah mencari uangnya,” ujarnya.
Eko berharap ada dorongan sinergi dari lintaskementerian untuk melakukan pembinaan yang berkelanjutan. “Kalau ditangkap pemodalnya tidak akan menyelesaikan masalah. Butuh sinergi apa yang dilakukan polisi tidak berhenti di situ saja. Kita harus memberikan sumber pendapatan yang memadai,” ucapnya.
Hal senada disampaikan Kepala Bidang Infrastruktur Mineral dan Batu Bara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, John Tambun. Dia menjelaskan, butuh kerja sama antara Ditjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; pemerintah daerah (pemda), serta; pihak terkait lainnya.
Pada prinsipnya, Kemenko Kemaritiman dalam hal ini melakukan supervisi program pada kementerian terkait. Dia menekankan pengumpulan data soal sebaran tambang ilegal yang saling divalidasi oleh lintas kementerian. “Selagi bisa dilakukan pembinaan, dibina dulu. Karena itu kita perlu tahu data mana yang perlu dibina itu,” tuturnya.
Kasi Perlindungan Lingkungan Direktorat Jenderal Mineral Dan Batubara Kementerian ESDM, Tiyas Nurcahyani menyebutkan, secara umum jenis tambang ilegal terbagi menjadi dua tipe. Yang pertama adalah jenis tambang liar yang beroperasi di lahan belum “berpenghuni'”. Pada jenis tersebut, lahan yang dieksploitasi adalah lahan yang belum diduduki oleh pemegang izin resmi, baik izin usaha pertambangan (IUP) atau kontrak karya (KK). Contoh jenis ini ada di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku.
Tipe yang kedua adalah tambang liar yang menggerogoti lahan milik perusahaan resmi. Untuk jenis ini seperti yang ada di Bakan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara. Lahan yang dikeruk oleh warga di sana adalah area usaha milik PT J Resources Bolaang Mongondow.
Menurut Tyas, solusi dalam menangani kasus tambang ilegal dapat diubah statusnya menjadi izin pertambangan rakyat (IPR). Syaratnya, perusahaan harus melakukan penciutan lahan terlebih dahulu, lalu pemda setempat mengajukan permohonan kepada Kementerian ESDM untuk diputuskan sebagai wilayah pertambangan rakyat (WPR). Catatannya, dalam ketentuan IPR, pemda harus sanggup menanggung biaya perbaikan lingkungan, termasuk reklamasi.
Sementara, Ketua Umum Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menuturkan, operasional tambang dengan bentuk IPR dinilai tidak ekonomis. Pasalnya, ada ketentuan operasi yang melarang penggunaan alat berat, sehingga membuat hasil produksi tidak akan menutup angka kewajiban lingkungan yang harus dibayarkan.
“Semua di lokasi tambang kecil-kecil masih pakai alat berat. Berdasarkan kajian kami, IPR kalau mengikuti semua ketentuannya, tidak ekonomis,” kata dia.
Editor: Ahmad Islamy Jamil