Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Hakim MK Sindir Kepala BNPB yang Ucapannya Bikin Heboh: Diseleksi Benar atau Tidak?
Advertisement . Scroll to see content

Memahami Konsep Judicial Activism di Mahkamah Konstitusi

Kamis, 04 Juli 2019 - 03:00:00 WIB
Memahami Konsep Judicial Activism di Mahkamah Konstitusi
Anggota Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf, Fahri Bachmid. (Foto: Istimewa).
Advertisement . Scroll to see content

Dr Fahri Bachmid, SH, MH
Advokat; Anggota Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma’ruf.

PERNYATAAN Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto (BW) yang mempertanyakan tidak dilakukannya “judicial activism” oleh Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus PHPU Pilpres 2019 dalam perkara No 01/PHPU-PRES/VXII/2019 dengan pemohon Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno keliru dan tidak tepat.

BW salah memahami konsep dasar serta teori pembuktian yang ada pada Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU pilpres, sebagaimana konsepsi dasar serta teori tentang judicial activism (aktivisme yudisial). Sebagaimana dikutip dari Peneliti MK, Pan Mohamad Faiz, dalam Brian Gallingan (1991), yang mendefinisikan judicial activism sebagai pendekatan hakim dan pengadilan untuk melakukan fungsi kontrol serta mempengaruhi institusi politik serta administratif, baik pada lembaga legislatif maupun eksekutif, dalam rangka membuat kebijakan serta keputusan.

Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh seorang cendekiawan, Arthur Schlesinger, dalam majalah Fortune (1947). Dikatakan bahwa para hakim yang menggunakan judicial activism cenderung memosisikan dirinya sebagai hakim yang berhak dan berwenang untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan politik, sosial dan ekonomi dalam membuat putusan tersebut dan kadangkala para hakim juga membuat aturan hukum (judges making law) berdasarkan pandangan-pandangan personalnya.

Para hakim yang sering menggunakan pendekatan ini kemudian dikenal dengan istilah “activist judges”. Berangkat dari ajaran serta doktrin di atas dan jika kita kaitkan dengan pandangan serta kehendak Pemohon untuk memaksa hakim MK melakukan sesuatu dalam konteks pembuktian pada perkara PHPU Pilpres 2019 yang lalu adalah berpotensi merusak sistem hukum, khususnya hukum acara MK serta berbagai kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang Mahkamah.

Hal tersebut tentunya secara normatif serta konstitusional sangat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya ketentuan Pasal 24 C ayat (1) jo UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Selain itu, ketentuan Pasal 36 ayat (1) mengenai alat bukti, jo ketentuan Pasal 45 ayat (1) yang menegaskan bahwa MK memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim, jo Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam penyelesaian PHPU pilpres.

Semua landasan hukum itu berdasar pada alat bukti yang sah. Hakim kontitusi tidak boleh didorong agar bersikap parsial dengan cara aktif untuk mencari alat bukti untuk kepentingan Pemohon. Ini adalah sebuah ironi dalam konteks sengketa pilpres dengan corak “contentious”, yang mana para pihak saling berhadapan serta membela kepentingan hukum yang berbeda pula.

Dengan demikian Pemohon secara hukum diberi beban untuk membuktikn dalil yang dikemukakan atau sesuai sifat ajaran hukumnya disebut dengan “Actori Incumbit Probatio”. Akan menjadi melawan hukum jika secara otoritatif Mahkamah didorong oleh pihak Pemohon agar dapat berperan aktif untuk membantu mencari serta menemukan alat bukti untuk kepentingan mereka.

Dengan argumentasi bahwa hakim harus melakukan judicial activism, hal tersebut melanggar asas imparsialitas lembaga peradilan dan menjadi tidak relevan berdasar kaidah-kaidah hukum pemilu yang berlaku saat ini.

Perlu diingat bahwa berdasarkan desain konstitusional tentang pemilu beserta lembaga peradilan yang diberikan mendat khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil pemilu telah diatur sedemikian rupa serta dengan batas-batas kewenangan yang diberikan oleh konstitusi maupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dengan demikian, secara teoritik maupun normatif hendaknya dipahami bahwa konsep serta paradigma judicial activism bukanlah dimaksudkan untuk mengadili perkara PHPU pilpres. Sebab, salah satu kewenangan konstitusional MK yakni memeriksa, mengadili, serta memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final, termasuk dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum.

Ketentuan dimaksud diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang secara derivatif diatur lebih lanjut dalam UU 7/2017 tentang Pemilu maupun PMK tentang Hukum Acara. Dengan demikian, telah tersedia jalan penyelesaian secara baik dan efektif, berdasarkan saluran saluran yuridis yang ada.

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin meluruskan pemahaman yang keliru ini agar masyarakat menjadi memahami hal ini secara objektif. Perlu ditegaskan bahwa sengketa PHPU Pilpres 2019 telah berakhir karena putusan MK final dan tidak ada forum hukum lain yang tersedia untuk diperdebatkan.

Merespons putusan MK, pihak Termohon dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan Keputusan KPU tentang penetapan presiden dan wakil presiden terpilih, dan selanjutnya akan dilakukan pelantikan kepada presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2019.

Saatnya semua komponen anak bangsa bersatu kembali untuk membangun negara serta merawat demokrasi konstitusional yang semakin baik ini.*

Editor: Zen Teguh

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut