Membedah Polemik TNI/Polri Jadi Pj Gubernur di Era Jokowi dan SBY
JAKARTA, iNews.id – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampaknya gerah dengan berbagai kritikan yang dilontarkan Partai Demokrat terkait pengangkatan Komjen Pol M Iriawan sebagai penjabat (pj) gubernur Jawa Barat. Partai berlambang banteng moncong putih itu pun lantas membandingkan kondisi saat ini dengan kebijakan yang pernah dilakukan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), semasa menjadi kepala pemerintahan dulu.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, Hendrawan Supratikno mengeklaim, tidak ada aturan yang dilanggar dalam pengangkatan Iriawan sebagai pj gubernur Jawa Barat. “Semua pihak menyadari, seperti dijelaskan, tidak ada peraturan perundangan yang dilanggar. Pada era SBY pun praktik serupa (pengangkatan anggota TNI/Polri aktif menjadi pj gubernur) sudah pernah ada,” ujarnya, Rabu (20/6/2018).
Praktik serupa oleh SBY yang dimaksud Hendrawan adalah pengangkatan Mayjen TNI Setia Purwaka menjadi penjabat gubernur Jawa Timur pada 15 Agustus 2008. Tak hanya Hendrawan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, pun ikut menuding SBY pernah melakukan praktik seperti yang dilakukan pemerintah saat ini, dengan mengambil contoh kasus pengangkatan Setia sebagai pj gubernur Jatim, satu dekade silam.
Akan tetapi, Mayjen TNI Setia Purwaka segera membantah tudingan itu. Dia menolak penunjukannya sebagai pj gubernur kala itu disamakan dengan penunjukan Iriawan selaku pj gubernur Jabar saat ini. Menurut pensiunan jenderal TNI itu, pengangkatannya menjadi pj gubernur di masa SBY telah melalui prosedur yang benar. Tidak ada aturan atau undang-undang yang ditabrak seperti sekarang.
Setia diangkat sebagai penjabat gubernur Jatim dengan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 73/P Tahun 2008 tertanggal 15 Agustus 2008. Ketika itu, dia telah menjabat inspektur jenderal di Kementerian Komunikasi dan Informatika (irjen Kemkominfo). Setia menjadi pejabat sipil di Kemkominfo sesudah dialihstatuskan dengan Keppres Nomor 34/K Tahun 2006 tanggal 12 Mei 2006.
“Jadi, saat saya diangkat sebagai penjabat gubernur Jatim sudah bukan anggota TNI aktif, tapi sudah alih status (dari dinas TNI ke sipil),” ungkap Setia melalui klarifikasi tertulisnya, Rabu (20/6/2018).
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo resmi melantik Iriawan menjadi penjabat gubernur Jawa Barat, Senin (18/6/2018). Iriawan bakal menjalankan tugas kepala daerah untuk sementara waktu, menggantikan Gubernur Ahmad Heryawan yang sudah berakhir masa jabatannya pada Rabu 13 Juni 2018.
Penunjukan Iriawan tersebut dibanjiri kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya, pria yang akrab disapa Iwan Bule itu masih berstatus anggota polisi aktif. Sebelum ditunjuk menjadi penjabat gubernur Jabar, Iriawan adalah sekretaris utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Pemindahan (mutasi) jenderal polisi bintang tiga itu dari institusi Kepolisian RI (Polri) ke Lemhannas dimulai sejak Maret lalu, atau berlangsung sekitar tiga bulan saja.
Mutasi Iriawan ketika itu ke Lemhannas dilakukan berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor KEP/350/III/2018. Namun, tidak ada keppres yang diterbitkan untuk mengalihstatuskan kedinasan Iriawan dari Polri menjadi PNS atau ASN, sehingga membuatnya tetap menjadi polisi aktif sampai sekarang.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, setidaknya ada tiga undang-undang yang terlanggar dalam pengangkatan Iriawan sebagai pj gubernur Jabar. Yang pertama adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian). Pasal 28 ayat 3 UU itu menjelaskan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Sementara, status Iriawan saat diangkat menjadi pj gubernur Jabar masih anggota polisi aktif.
“Rambu (UU Kepolisian) ini sangat tegas. Rambu ini juga menjadi bagian dari spirit reformasi yang telah ditegaskan konstitusi pascaamandemen,” ucap Fadli.
Selanjutnya, ketentuan yang terlanggar oleh pemerintah dalam kasus pengangkatan Iriawan adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Dalam UU itu dinyatakan, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur maka diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya. Menurut Fadli, jabatan pemimpin tinggi madya ini ada batasannya, yaitu pejabat aparatur sipil negara (ASN).
“Gubernur adalah jabatan sipil, jadi tak dibenarkan polisi aktif menduduki jabatan tersebut,” tutur politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu.
Ketiga, kata dia, pemerintah juga melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Dalam pasal 20 ayat 3 UU itu disebutkan, pengisian jabatan ASN tertentu memang bisa berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri. Akan tetapi, kata Fadli, ketentuan ini pun ada batasnya, yaitu hanya bisa dilaksanakan pada instansi pusat. Sementara, gubernur adalah pejabat pemerintah daerah.
Editor: Ahmad Islamy Jamil