Mengenang Mohammad Natsir, Eks Perdana Menteri Indonesia Pendiri Masyumi
JAKARTA, iNews.id - Biografi Mohammad Natsir menarik untuk disimak. Dia merupakan sosok ulama asal Sumatera Barat (Sumbar) yang pernah ditunjuk sebagai Perdana Menteri (PM) Indonesia pada 1950.
Sebelum menjabat perdana menteri, dia pernah mengemban tugas sebagai menteri penerangan pada Kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan Kabinet Hatta (1948). Dia juga dikenal sebagai salah satu tokoh pendiri partai politik Masyumi.
Berikut biografi Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri Indonesia sekaligus tokoh pendiri Masyumi sebagaimana iNews.id rangkum dari berbagai sumber, Rabu (17/7/2024).
Mohammad Natsir lahir di Solok, Sumbar pada 17 Juli 1908. Dia merupakan putra dari pasangan juru tulis yang banting setir sebagai sipir bernama Idris Sutan Saripado dan Khadijah.
Natsir kecil dididik dengan ilmu agama. Sebab, orang tuanya merupakan muslim yang taat.
Dia mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabyah Padang. Usai beberapa bulan menimba ilmu, dia dipindahkan ke HIS Solok sebelum akhirnya pindah lagi ke HIS Padang.
Setelah lulus, dia mendapatkan beasiswa ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Dia mulai aktif di berbagai organisasi seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketuai Sanusi Pane.
Pada 1927, dia melanjutkan pendidikan di jurusan kesusastraan barat klasik Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung. Ketertarikannya terhadap politik dimulai saat memasuki JIB cabang Bandung yang didirikan Haji Agus Salim dan Wiwoho Purbohadijoyo.
Natsir pertama kali mengenal Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito dan Kasman Singodimedjo, yang belakangan menjadi tokoh politik Masyumi di JIB Bandung. Di sana dia juga mengenal Nur Nahar, perempuan yang kelak menjadi istrinya.
Pada 1931, dia melanjutkan studi di Lagere Onderwijs (LO) atau Sekolah Guru Lanjutan non-Eropa. Dia menyelesaikan studi setahun kemudian dan mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung.
Kesibukan Natsir sebagai pendidik tidak mengurangi aktivitas politiknya. Dia tetap rajin berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Pada 1930, Natsir mulai aktif di partai politik. Dia menjadi anggota dari Partai Sarekat Islam (PSI) cabang Bandung dan bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) yang didirikan dr. Soekiman Wirjosandjojo, KH. Mas Mansur, R. Wiwohono, dan Ki Bagus Hadikusomo setelah PSI terpecah belah pada 1939.
Natsir kemudian aktif di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri pada 21 September 1937 atas inisiatif KH Mas Mansur (Muhammadiyah), KH A Wahab Chasbullah (NU), KH A Achmad Dahlan (Non Partai), dan Wondoamiseno (SI). Pada masa pendudukan Jepang MIAI diubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) hingga diresmikan sebagai partai politik oleh Natsir, Sukiman dan Mohammad Roem pada 7 November 1945.
Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) serta dalam kabinet Hatta (1948), Muhammad Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan.
Natsir tercatat mengajukan Mosi Integral kepada parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS). Mosi tersebut mengembalikan Indonesia dari negara serikat menjadi negara kesatuan pada 17 Agustus 1950.
Atas jasanya tersebut, dia ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Soekarno. Hanya saja, dia menghadapi kesulitan saat membentuk kabinet karena Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak mendukung.
Akhirnya Natsir membentuk kabinet yang terdiri atas 18 menteri. Kabinet ini dikenal sebagai kabinet zaken alias diisi oleh ahli dibanding perwakilan partai.
Akan tetapi, kabinet itu berumur pendek. Pertentangan Natsir dengan PNI dan PKI semakin memuncak.
Selain itu, pernyataan Natsir bahwa dasar negara adalah Islam menyebabkan hilangnya dukungan Soekarno kepada Natsir hingga Natsir mengundurkan diri sebagai perdana menteri.
Natsir meninggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Dia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah pada 2008 lalu.
Editor: Rizky Agustian