Momen Megawati Jadi Irup Upacara 17 Agustus di Sekolah PDIP Lenteng Agung
JAKARTA, iNews.id - Presiden Kelima RI sekaligus Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri bertindak sebagai inspektur upacara pengibaran bendera merah putih di Sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (17/8/2024). Megawati tidak menghadiri upacara di Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Lapor, upacara pengibaran bendera merah putih siap dilaksanakan," kata pemimpin upacara kepada Megawati.
"Laksanakan," perintah Megawati yang bertindak sebagai Irup upacara.
Kemudian, Paskibraka yang didampingi Satgas Cakra Buana langsung memasuki lapangan upacara. Sesampainya di tiang bendera, sang Merah Putih dinaikkan dengan diiringi lagu Indonesia Raya.
Selanjutnya, agenda upacara dilanjutkan mengheningkan cipta yang dipimpin langsung oleh Megawati. Setelah itu, pembacaan teks proklamasi oleh Komaruddin Watubun, teks Pancasila oleh Letjen TNI (Purn) Ganip Warsito dan pembacaan dan undang-undang dasar (UUD) 1945 oleh Yoseph Aryo Adhi Dharma.
Megawati dalam amanat upacara tersebut menyampaikan elite kekuasaan yang mencoba membelokkan sejarah.
"Seluruh cita-cita besar kemerdekaan itu kini ada yang mencoba membelokkan sejarah melalui kekuasaannya," kata Megawati.
Menurutnya, kemerdekaan yang diletakkan kepada kedaulatan rakyat kini coba diganti dengan kedaulatan kekuasaan. Bahkan, hukum digeser maknanya dari hak keadilan yang hakiki menjadi alat intimidasi.
"Konstitusi yang harusnya menjadi landasan pokok bagi pemimpin dan seluruh rakyat Indonesia untuk dijalankan dengan selurus-lurusnya ternyata bisa seenaknya dibelokkan arahnya," ujarnya.
Tak hanya itu, dia menyebut produk hukum penuh legalitas prosedural tanpa falsafah hukum dan kegunaannya bagi kepentingan rakyat. Seluruh upaya tersebut berjalan secara sistematis dengan kemasan wataknya yang sepertinya populis.
Bahkan, Megawati menyebut ada yang paling memprihatinkan yakni ketika kedaulatan rakyat sebagai pilar utama demokrasi kini diubah wataknya,dan membuat rakyat dengan rasa takut dalam menjalankan kehidupannya.
"Sepertinya, untuk berbicara kebenaran pun banyak yang sudah tidak sanggup, mulutnya terkunci, mulutnya terdiam," tuturnya.
Editor: Muhammad Fida Ul Haq