Nasib Mujur! 11 Tahun Mandek Pangkat Kapten, Melesat Jadi KSAD
JAKARTA, iNews.id - Nasib orang siapa tahu. Ibarat roda, hari ini berada di bawah, lain waktu bisa di atas. Perumpamaan itu sepertinya cocok untuk menggambarkan perjalanan hidup Kepala Staf TNI Angkatan Darat atau KSAD ke-12 Jenderal TNI Raden Widodo.
Di militer, pangkat jenderal penuh (bintang empat) tentu sebuah prestasi luar biasa. Tidak semua prajurit mampu menembus kasta tertinggi tersebut. Pun bagi Widodo. Siapa sangka mengingat dirinya pernah seolah mandeg di level perwira menengah.
Tak tanggung-tanggung, Widodo menyandang pangkat kapten hingga 11 tahun! Sebuah periode yang terhitung tidak umum dalam situasi normal. Lantas bagaimana ceritanya dia melesat hingga jadi KSAD?
Widodo lahir dari keluarga priyayi Jawa. Ayahnya, Raden Taruno Hartono, sementara ibunya, Raden Ayu Rukmiati. Bila ditelusuri dari silsilah keluarga, ibu dari Widodo masih ada darah dengan adik dari Pangeran Diponegoro.
Kehadiran Widodo tentu disambut sukacita keluarga. Jabang bayi itu diidamkan-idamkan oleh keluarga Raden Taruno Hartono.
“Selanjutnya beliau memberi nama Widodo yang berarti ‘selamat sejahtera’ dengan harapan kelak ia menjadi orang yang berbahagia dan berguna bagi sesama,” tulis buku biografi ‘Jenderal TNI R Widodo: Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa’ karya Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarahad), dikutip Rabu (29/11/2023).
Perkenalan Widodo dengan dunia militer bermula ketika dia menempuh sekolah menengah pertama. Saat kelas 3, gurunya yang bernama Iskandar selalu mengobarkan semangat melawan penjajah. Dia mendorong murid-muridnya untuk mendaftarkan diri masuk pendidikan Pembela Tanah Air (Peta). Widodo memutuskan untuk ikut.
Disjarahad mendeskripsikan, sejatinya Widodo tidak ingin ikut Peta, tapi karena dianjurkan dan semangatnya terbakar, akhirnya dia berangkat ke Bogor. Inilah awal mula bocah berdarah ningrat itu ditempa kerasnya pendidikan militer. Mula-mula dia menjadi Shodanco (komandan peleton) di Jakarta.
Selanjutnya pada September 1944 Widodo masuk pendidikan Kato Kyoiku di Bogor. Setelah itu pada 1946 melanjutkan pendidikan Kendo Syugo di Surabaya. Sejarah terus bergulir. Jepang kalah perang di Asia Pasifik. Setelah Indonesia mengumandangkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan mulai dibentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR), Widodo turut bergabung.
“Dia diangkat menjadi komandan kompi. Peran R Widodo sangat penting diawali sebagai seorang Komandan Kompi di Batalyon 30 Resimen III Divisi III/Diponegoro,” tulis Disjarahad. Dia lantas dimutasi ke Resimen Yogyakarta Divisi III, lalu ditarik lagi sebagai Komandan Kompi di Staf TNI AD Yogyakarta. Kala itu dia telah menyandang pangkat kapten.
Sejarah mencatat, Widodo diterjunkan dalam berbagai tugas, termasuk terlibat dalam Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta. Serdadu yang semasa muda pernah semedi di lereng Gunung Lawu itu menjadi salah satu komandan pasukan yang menyerang Kotabaru di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Kelak, Soeharto melesat jadi Pangkostrad, kemudian Panglima ABRI hingga Presiden ke-2 RI.
Putaran waktu mengantar Widodo kepada berbagai tugas dan jabatan. Serdadu yang semasa kecil hobi memelihara ikan hias itu antara lain diberi amanah sebagai Danki 1 Yon 1 Brigade X Divisi III/Diponegoro pada 1949. Setelah itu Danki Batalyon 410 pada 1951.
Dedikasi dan keberhasilan tugas menjadikan Kapten Widodo didapuk sebagai Danyon 412 Resimen Infanteri 13 Sub Teritorium 13. Ini terjadi pada 24 Juni 1952. Jabatan ini memberinya kesempatan untuk masuk Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung.
Widodo akhirnya menimba ilmu di SSKAD. Di kawah candradimuka bagi perwira matra Darat inilah berkah kembali datang untuknya. Widodo dinaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi menjadi mayor.
Namun, dalam catatan wartawan Australia David Jenkins, nasib Widodo terbilang tak moncer dibandingkan koleganya. Betapa tidak, selama 11 tahun dia menyandang pangkat kapten. Tepatnya dari 1945-1956!
Pada 1957 setelah mengikuti pelatihan di SSKAD selama 18 bulan, anak kedua dari 13 bersaudara ini diangkat sebagai instruktur di lembaga pendidikan tersebut. Posisi itu disandangnya delapan tahun dari 1957 sampai 1963.
“Di antara mereka yang dia ajar adalah bekas komandannya, Soeharto,” kata Jenkins dalam buku ’Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’.
Pada kurun 1965 Widodo kembali bertugas di Kodam Diponegoro. Bukan perkara mudah karena saat itu PKI sedang membabi-buta ingin merongrong kekuasaan negara. Di Jakarta, terjadi gerakan 30 September. Di berbagai daerah, gerombolan komunis masih terus bergerak termasuk di Jawa Tengah.
Di sinilah titik balik karier Mayor Widodo. Datang ke ‘kandang singa’ tak menciutkan nyalinya. Widodo gerak cepat menumpas PKI di Yogyakarta dan gerombolan DI/TII di Brebes. Dia juga agresif menghabisi sisa-sisa gerakan PKI termasuk mengganyang kelompok Mbah Suro di Gunung Kendeng, Blora. Kesuksesannya itu berbuah pecah bintang. Serdadu asal Yogya ini resmi berpangkat Brigjen.
Kariernya kian meroket. Berdasarkan SK Panglima Angkatan Darat Nomor: Kep-770/7/1968 tertanggal 6 Juli 1968, Widodo dipromosikan sebagai Pangdam III/17 Agustus di Sumatera Barat. Setelah itu dia menjadi Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973). Mantan Danrem 072/Pamungkas Kodam VII/ Diponegoro (1965) ini lantas ditunjuk sebagai Panglima Kowilhan I/Sumatera (1973-1974) dan selanjutnya Panglima Kowilhan II/Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada 1974-1977.
Tentara yang pernah mengenyam pendidikan militer ternama di Fort Benning, Amerika Serikat itu mencapai puncak karier pada 1978. Soeharto memberi lampu hijau sebagai pengganti Jenderal TNI Makmun Murod. Di lapangan parkir timur Senayan pada 28 Januari 1978, Widodo dilantik sebagai KSAD ke-12.
Kendati demikian jabatan itu hanya berlangsung sekitar dua tahun. Cara Widodo memberikan ruang bagi purnawirawan jenderal yang gemar mengkritik pemerintah melalui wadah Fosko AD membuat Soeharto tak senang. Pada 30 April 1980 posisinya digantikan Jenderal TNI Poniman.
Widodo meninggal dunia di Jakarta pada 19 Februari 1993 dalam usia 68 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Keluarga di Yogyakarta.
Editor: Rizky Agustian