OTT KPK dan Reputasi KPU di Pilkada 2020
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
AWAL 2020 panggung politik nasional kita langsung disuguhi bencana! Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menjadi realitas aktual yang mengonfirmasi potensi kejahatan dalam perebutan kekuasaan masih menjadi problem mendasar.
Bagaimana persekongkolan terjadi antara para pemburu kekuasaan dengan penyelenggara pemilu? Mungkinkah ini merupakan puncak realitas gunung es dalam penyelenggaraan tata kelola kepemiluan kita? Sepertinya memang demikian.
Ragam kasus yang terjadi dari pemilu ke pemilu menjadi gambaran penyelenggara memiliki kerentanan dalam menghadapi godaan para pihak yang berkepentingan. Pemilu maupun pilkada kerap menjadi pasar gelap transaksi kejahatan yang berlindung di balik instrumen hukum dengan memanfaatkan orang yang seharusnya menjadi penyelenggara pemilu sesuai UU dan peraturan.
Tipologi Krisis
Kasus OTT Wahyu Setiawan pastinya berpengaruh pada reputasi KPU termasuk dalam persiapan menghadapi agenda politik Pilkada Serentak 2020. Ada 270 daerah yang akan berpilkada tahun ini. Dengan rincian, 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota.
Pilkada tahun ini melibatkan sekitar 107 juta pemilih atau 68% dari total daftar pemilih dalam Pemilu 2019. Dengan demikian, penyelenggaraan Pilkada 2020 ini merupakan satu di antara pilkada yang berpengaruh signifikan pada proses konsolidasi demokrasi Indonesia ke depan.
Di tengah persiapan penyelenggaraan Pilkada 2020, peristiwa suap ke komisioner di tingkat pusat dalam urusan pergantian antarwaktu (PAW) ini merupakan peristiwa yang langsung menghunjam reputasi kelembagaan KPU. Publik bukan hanya dibuat kaget, tapi juga memantik diskursus publik soal kepercayaan mereka terhadap lembaga yang berposisi sangat strategis dalam penyelenggaraan pemilu ini.
Ini bukan soal citra semata yang rusak, lebih dari itu, karena menyangkut reputasi organisasi. Kasus ini adalah bagian situasi krisis yang dialami KPU jelang penyelenggaraan Pilkada 2020.
Dan Millar dan Larry Smith 2010 dalam bukunya, Crisis Management and Communication: How to Gain and Maintain Control (2010), membuat empat tipologi krisis organisasi. Pertama, bizzare crisis yakni jenis krisis yang tidak bisa diperkirakan dari apa yang telah dilakukan. Kedua, sudden crisis alias krisis yang datang tiba-tiba tanpa gejala apa pun.
Ketiga, perceptual crisis, di saat internal tidak menyadari akan terjadi hal buruk, tetapi publik sesungguhnya telah memersepsikan terjadi sesuatu yang salah. Keempat, smoldering crisis, yakni tahu dan mengidentifikasi ada masalah, hanya membiarkan masalah tersebut hingga akhirnya meledak menjadi krisis. Dari empat tipologi tadi, yang sangat mungkin terjadi saat ini di KPU masuk kategori yang ketiga (perceptual crisis) dan keempat (smoldering crisis).
Krisis perseptual karena kita sering menemukan publik melihat banyak kejanggalan dalam penyelenggaraan pilkada maupun pemilu. Meski demikian, orang-orang yang di KPU sendiri tak melihat ada masalah karena merasa sebagian besar sistemnya sudah bekerja sesuai aturan. Hanya mereka lupa bahwa kerapkali ada para oknum, terlebih yang memiliki posisi pembuat kebijakan yang membawa organisasi KPU ataupun KPUD terjerumus ke dalam marabahaya yang menyebabkan krisis kelembagaan.
Penggelembungan suara, kejanggalan putusan, pelaksanaan aturan yang kerap tumpang tindih dan menguntungkan satu pihak, terbaca dalam persepsi publik, tetapi mereka tak dapat mengakses bukti atas sejumlah kejanggalan-kejanggalan tersebut.