Pemberian Gelar Guru Besar Lewat Jalur Instan, Ketua DPP Perindo Sortaman: Miris jika Tidak Malu
JAKARTA, iNews.id - Ketua DPP Partai Perindo Bidang Kesehatan Masyarakat, Sortaman Saragih mengaku prihatin atas pemberian gelar guru besar tanpa harus menciptakan sebuah karya ilmiah. Sebabs saat ini banyak orang bergelar Profesor tanpa harus menjadi dosen perguruan tinggi.
"Miris rasanya jika ada orang yang tidak malu mendapatkan gelar guru besar secara instan tanpa prosedur ilmiah. Hasil temuan di lapangan ternyata begitu mudahnya mendapatkan ijazah bergelar professor di negara ini tanpa harus menjadi dosen profesional," kata Sortaman dalam keterangannya, Rabu (17/7/2024).
Sortaman menilai, pemberian gelar guru besar di Indonesia dianggap sebagai puncak kehormatan di bidang akademik.
"Banyak orang memburu gelar abal-abal ini, sebab menurut pandangan mereka, gelar ini membuat mereka menjadi orang terhormat. Mereka tidak menyadari bahwa tidak ada kehormatan yang diperoleh dengan cara tidak terhormat," ungkapnya.
Sortaman juga menyayangkan, jika fenomena pemberian gelar guru besar ini tidak bisa diseret ke ranah hukum. Padahal, kasus jual bual gelar ini banyak dilakukan oleh pejabat publik.
"Sayangnya jual beli tidak dibawa ke ranah hukum karena dilakukan oleh orang – orang kuat atau mungkin kebal hukum. Ada beberapa orang pentolan eksekutif, legislatif dan yudikatif di negara ini yang menjadi pelakukanya," katanya.
Sortaman memandang, memiliki gelar Profesor bukanlah perkara yang salah. Asalkan, gelar tersebut diraih atau ditempuh melalui jalur prosedur yang benar.
"Gelar Profesor memiliki persyaratan, bergelar doktor, membuat penelitian yang dipublish secara internasional, minimal 10 tahun menjadi dosen tetap. Namun bagi mereka penggila hormat itu tidak berlaku, semuas persyaratan bisa dipesan (dikateringkan ibarat makanan) bekerja sama dengan kampus yang mengobralnya," ujarnya.
Sortaman mengatakan, kasus jual beli gelar ini tidak hanya berlaku bagi Profesor saja, namun juga bagi gelar sarjana dan magister. Karena itu, orang-orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan gelar tersebut.
"Bukan hanya gelar guru besar tetapi gelar S1 dan S2 juga bisa dikateringkan. Tapi masa pemesanannya dibuat rasional bukan dadakan seperti jajanan tahu bulat. Artinya diatur sedemikian rupa sehingga seolah benar perkuliahannya dijalani," katanya.
Sortaman menilai, pemberian gelar abal-abal ini sangat menghacurkan nama instusi pendidikan di Indonesia. Dirinya pun mendesak pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
"Maka bangsa ini menjadi bangsa badut yang tidak tahu malu. Tapi jangan-jangan obral gelar professor ini bagian dari permainan kementerian itu juga?" tandasnya.
Editor: Faieq Hidayat