Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Forum Pemred Gelar Run for Good Journalism, Kampanyekan Lawan Hoaks!
Advertisement . Scroll to see content
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Kontroversi seputar kasus hoaks yang dibuat Ratna Sarumpaet belum usai. Aparat Polda Metro Jaya mengamankan perempuan itu di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, saat hendak berangkat ke Cile, Kamis (4/10/2018) malam.

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Idil Akbar, pun menilai perbuatan Ratna Sarumpaet tidak dapat dibenarkan dengan teori apa pun. Menurut dia, kebohongan atau hoaks yang dibuat oleh aktivis perempuan itu dapat bersifat sistemik dan merugikan banyak orang.

“Perbuatannya dapat menyeret mereka yang turut serta dalam kebohongan tersebut. Dalam UU ITE (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), siapa pun yang ikut menyebarkan kebohongan dan atau kebencian dapat dikenakan sanksi,” ujar Akbar kepada iNews.id, Jumat (5/10/2018).

Dia menuturkan, orang-orang yang ikut menyebarluaskan kabar bohong tersebut dapat terseret masalah hukum akibat perbuatan Ratna. Terlebih lagi, banyak dari pihak Badan Pemenangan Nasional Prabowo–Sandi yang turut serta menyebarluaskan cerita khayalan Ratna ke publik, termasuk Prabowo sendiri selaku calon presiden.

“Jadi, mereka juga bisa terkena dampak hukum atas perbuatan Ratna Sarumpaet,” ucapnya.

Akbar berpendapat, secara etika, permintaan maaf yang disampaikan Ratna belum lama ini memang sudah sewajarnya harus dilakukan. Walaupun begitu, jika mengacu kepada UU ITE, permintaan maaf itu bukan berarti membuat kasus hukumnya jadi selesai begitu saja.

“Itulah mengapa saya katakan bahwa Ratna Sarumpaet tidak berpikir logis dan strategis, hanya semata berpikir perbuatannya bisa mendegradasi pencitraan Jokowi–Ma'ruf. Tapi akhirnya malah jadi bumerang, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga berdampak sistemik terhadap tim kampanye Prabowo–Sandi. Secara politik, ini jelas tidak menguntungkan dan membawa preseden negatif bagi rakyat,” tutur Akbar.

Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah mengatakan, Ratna harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum. Menurut dia, Ratna telah melanggar Pasal 28 ayat 1 UU ITE dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Tak hanya itu, Ikhsan menilai Ratna Sarumpaet telah menebar teror dan radikalisme di jagat media sosial. “Karena teror itu sudah nembuat fitnah dan keresahan, dia (Ratna) harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. MUI juga mengingatkan agar kita semua menjaga etika dan moral di media sosial,” ujar Ikhsan.

Sebelumnya, Ratna Sarumpaet mengaku telah dianiaya sejumlah orang tidak dikenal di Bandung, Jawa Barat, 21 September lalu. Pengakuan perempuan itu mencuat ke publik setelah foto yang menampilkan wajah Ratna dalam kondisi bengkak dan lebam viral di media.

Namun, Rabu (3/10/2018), Ratna mengeklaim bahwa cerita tentang penganiayaan yang dia alami itu adalah hoaks belaka. Dia mengonfirmasi bahwa luka lebam di wajahnya akibat dari prosedur sedot lemak yang dia jalani di rumah sakit bedah kecantikan.

Akibat ulahnya, publik Tanah Air pun dibuat heboh. Bahkan, cerita hoaks Ratna itu membuat perseteruan antara para pendukung pasangan Prabowo–Sandi dan Jokowi–Ma'ruf semakin panas, sehingga mereka pun saling tuding, saling caci, dan saling curiga.

Editor: Ahmad Islamy Jamil

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut