Pengamat Nilai Gugatan Prabowo-Sandi Sulit Dikabulkan MK
JAKARTA, iNews.id – Menjelang pengumuman putusan hasil sidang sengketa Pilpres 2019, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai permohonan yang diajukan oleh Tim Hukum Prabowo-Sandi sulit dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Itu dikarenakan sejumlah dalil yang mereka kemukakan selama persidangan dianggap lemah.
“Diskualifikasi (terhadap paslon) itu sebenarnya tempatnya bukan di MK tapi Bawaslu, karena terkait syarat administratif. Nanti dalil akan dijawab satu per satu dan dijelaskan pembuktiannya oleh mahkamah. Dalil diskualifikasi itu menurut saya akan ditolak oleh MK,” kata Bivitri ketika dihubungi di Jakarta, Senin (24/6/2019) malam.
Selain dalil diskualifikasi terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf, Bivitri juga menyoroti dalil tentang dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) tidak akan dikabulkan oleh MK. Itu dikarenakan perintah PSU pascapengumuman hasil rekapitulasi nasional oleh KPU bukan menjadi wewenang MK, melainkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sementara, untuk dalil dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), Bivitri menjelaskan MK memang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Namun, dia menduga MK tetap akan mengaitkannya dengan hasil Pilpres 2019, karena pada dasarnya secara konstitusional MK memang tempat untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
“Kalaupun ada kecurangan, harus TSM dan dikaitkan dengan hasil secara umum apakah itu akan membalikkan suara atau tidak. Jadi, kalau saya melihat pembuktiannya kemarin itu kurang kuat. Dua dalil yakni pembubaran KPU dan diskualifikasi itu sangat bermasalah. Kalau yang lain masih bisa diperdebatkan,” ujarnya.
Selanjutnya, Bivitri menilai alat bukti dan saksi yang dihadirkan oleh Tim Hukum Prabowo-Sandi juga masih belum cukup kuat untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya.
“Mungkin BW (Bambang Widjojanto) mau mencoba peruntungannya, kan karena dulu dia menang di pilkada. Tapi beda levelnya. Terus struktur dan konstruksi hukumnya juga beda antara pilkada dan pemilu,” kata dia.
Editor: Ahmad Islamy Jamil