Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Irjen Agus Repons Rekomendasi DPR soal Kakorlantas Jadi Balantas: Mohon Doa Restu
Advertisement . Scroll to see content

Polisi Cabuli Anak di Kalteng Divonis 2 Bulan, DPR Dorong Eksaminasi

Jumat, 18 Agustus 2023 - 13:48:00 WIB
Polisi Cabuli Anak di Kalteng Divonis 2 Bulan, DPR Dorong Eksaminasi
Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto mendorong eksaminasi atas vonis polisi yang mencabuli anak di Kalteng. (Foto: Istimewa)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Komisi III DPR menilai putusan Pengadilan  Negeri (PN) Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng) yang memvonis oknum perwira polisi pelaku kekerasan seksual kepada anak hanya dengan hukuman dua bulan penjara telah mencederai keadilan. Komisi yang membidangi urusan hukum itu pun mendorong agar dilakukan eksaminasi terhadap hasil putusan tersebut.

“Saya bisa memaklumi kerisauan dan kekecewaan masyarakat akibat putusan PN Palangka Raya yang menjatuhkan hukuman 2 bulan penjara terhadap oknum polisi yang melakukan kekerasan seksual,” kata Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto, Jumat (18/8/2023).

Seperti diketahui, majelis hakim pada persidangan di PN Palangka Raya memutuskan Mahmud bin Hadi Mulyanto bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap 2 anak di bawah umur berinisial M dan D. Meski dinyatakan bersalah, oknum polisi berpangkat AKP itu hanya dijatuhi hukum dua bulan penjara dan denda Rp5 juta.

Putusan hakim tersebut menuai banyak kontroversi di tengah kegelisahan publik terhadap banyaknya kejahatan seksual yang terjadi. Apalagi, pelaku merupakan anggota polisi aktif yang seharusnya mengayomi masyarakat.

“Wajar putusan ini dianggap mencederai rasa keadilan publik, mengingat pelaku kekerasan adalah oknum penegak hukum dan korbannya anak di bawah umur yang di dalam UU TPKS menjadi pemberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual,” tuturnya.

Selain itu, dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan adanya tambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dari beberapa profesi tertentu. Hukumannya bahkan ditambah 1/3 dari ancaman pidana.

Profesi yang dimaksud yakni tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban. Selain itu, aturan ini juga berlaku bagi keluarga hingga pejabat publik.

“Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan,” tutur Didik.

Dia menambahkan kekerasan seksual akan menimbulkan dampak luar biasa kepada korban yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Didik menyatakan, dampak kekerasan seksual juga sangat mempengaruhi kehidupan dan masa depan korban dan akan semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang termarginalkan.

“Baik secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dan penyandang disabilitas,” ujarnya.

Oleh karena itu, Didik menekankan agar setiap pelaku kekerasan seksual seyogianya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sebab perbuatan pelaku bisa menimbulkan trauma dan penderitaan yang berkepanjangan terhadap korban.

“Kita tidak ingin masyarakat hilang kepercayaannya akan terwujudnya keadilan melalui putusan hakim,” ucap Didik.

“Jika masyarakat selama ini beranggapan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di dunia, bagaimana dengan anggapan masyarakat jika ada putusan hakim yang dirasakan tidak adil dan mencederai rasa keadilan publik? Lantas mewakili siapa keberadaan hakim di dunia?” katanya.

Dalam kasus di Palangka Raya, pihak keluarga telah menyampaikan kekecewaannya atas putusan hakim. Selain karena pelaku merupakan anggota penegak hukum, kekerasan seksual dilakukan di lingkungan Polda Kalteng di mana kantor polisi semestinya menjadi tempat yang aman.

Terlepas dari hal itu, pelaku juga bukan baru kali ini saja bersentuhan dengan hukum karena pernah terlibat pada kasus yang lainnya. Pihak keluarga juga mengaku pernah mendapat intimidasi dari pihak tertentu terkait kasus ini. Kedua korban pun mengalami trauma yang ikut berdampak pada keluarganya.

Didik lantas mengusulkan agar dilakukan eksaminasi terhadap putusan hakim dalam kasus kekerasan seksual di Palangka Raya ini. Eksaminasi merupakan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan pengadilan (hakim) yang sering juga disebut dengan istilah legal annotation yaitu pemberian catatan-catatan hukum terhadap putusan pengadilan maupun dakwaan jaksa.

“Tidak ada salahnya melakukan eksaminasi putusan atas permintaan publik. Selain bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan  prosedur hukum acaranya, juga untuk mengetahui apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat,” tutur Didik.

Jika kegelisahan publik atas putusan tersebut tidak ditindaklanjuti lebih lanjut, dia khawatir martabat dan integritas lembaga peradilan akan tercoreng. Padahal, martabat dan integritas lembaga peradilan sejatinya bersumber pada integritas dan kualitas para hakimnya. 

“Parameter yang terukur untuk menilai kualitas dan kompetensi hakim salah satunya adalah melalui putusannya. Dengan demikian harapannya pengawasan dan pembinaan para hakim juga bisa lebih terukur dan obyektif,” ucap Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu.

Editor: Rizal Bomantama

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut