Psikolog UGM Soroti Polemik Wisuda Anak Sekolah, Ini Katanya
JAKARTA, iNews.id - Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) buka suara terkait polemik wisuda anak sekolah dari TK-SMA. Lantas, bagaimana responsnya? Ini penjelasannya.
Menurut Pengamat Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan, T. Novi Poespita Candra pada dasarnya acara wisuda yang dilaksanakan mulai dari TK sampai dengan SMA ini bermula dari adanya fenomena yang banyak terjadi saat ini. Dulu, istilah wisuda hanya digunakan oleh jenjang perguruan tinggi.
Namun, seiring berjalannya waktu wisuda dilakukan oleh semua jenjang pendidikan. Hal ini pun akhirnya memengaruhi banyak hal, terlebih finansial.
“Kalau dulu TK sampai SMA namaya pelepasan atau perpisahan ke jenjang selanjutnya, tapi belakangan ini semua menyebutnya wisuda. Jadi persoalan adalah ketika wisuda yang dilakukan oleh jenjang-jenjang di bawah perguruan tinggi ini terlalu berlebihan bahkan memengaruhi material,” tutur dia dikutip Jumat (30/6/2023).
Lebih lanjut Novi menyebutkan bahwa di luar negeri, istilah wisuda (graduation) dipakai di semua jenjang pendidikan. Hanya saja, terdapat perbedaan besar dalam pelaksanaan wisuda di Indonesia dan luar negeri.
Bahkan, hal itu terlihat sangat jelas, yakni dari perayaan wisuda di luar negeri yang dilakukan secara sederhana. Bahkan, di jenjang SD orang tua diundang untuk ikut wisuda untuk mendengar penjelasan tumbuh kembang anaknya.
“Dari pengalaman saat wisuda anak ketika SD di Australia, kami diundang dan mendengarkan setiap anak perkembangannya seperti apa. Jadi, merayakan perkembangan anak poinnya. Tidak ada acara makan-makan dan perayaan mewah lainnya,” kata Dosen Fakultas Psikologi UGM ini.
Sementara di Indonesia, kata Novi, pelaksanaan wisuda di jenjang TK hingga SD tak jarang harus sampai menyewa gedung mewah, menyewa baju, dan lainnya. Hal tersebut menjadi terlalu berlebihan dan memberatkan orang tua serta sekolah.
Kondisi ini pada akhirnya memunculkan kritik dari berbagai pihak sehingga pemerintah melalui Kemendikbudristek mengeluarkan Surat Edaran (SE) sebagai bentuk respons akan polemik tersebut. Melalui SE No.14 Tahun 2023 yang diterbitkan 13 Juni 2023 ini Kemendikbudristek mengimbau tidak menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan wajib dan jika melaksanakan pelepasan siswa dalam bentuk wisuda tidak boleh membebani orang tua atau wali peserta didik.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar perlu adanya tambahan informasi terkait wisuda agar tidak hanya berfokus pada selebrasi kelulusan tetapi menjadi hal yang lebih bermanfaat untuk anak ke depannya.
“Sebenarnya perlu edukasi karena kalau cuma dilarang wisuda nantinya akan tetap ada kegiatan serupa, hanya ganti nama. Bukan soal selebrasi atau wisudanya tapi lebih ke lifestyle berlebihan saat wisuda,” ucap dia.
Novi menekankan pentingnya edukasi terkait esensi wisuda kepada semua pihak termasuk orang tua. Esensi dari kegiatan wisuda adalah sebagai ajang refleksi bagi anak-anak dan orang tua terkait perjalanan mereka selama menjalani pendidikan.
“Sebenarnya wisuda itu selain mensyukuri ada tahap yang sudah terlampaui, tetapi juga sebagai refleksi perkembangan apa yang sudah dicapai. Refleksi pada masing-masing anak,” ujar Novi.
Tak hanya itu, momen wisuda juga dimaknai sebagai upaya untuk menyiapkan anak dan orang tua menjalani jenjang pendidikan selanjutnya.
“Bukan soal administrasi lho, tetapi misal mau SMP kan sudah remaja. Nah, memasuki masa remaja ini apa yang perlu disiapkan orang tua, apa yang dipesankan pada anak-anak, pemaknaan seperti ini yang harus dipelajari,” kata dia.
Editor: Puti Aini Yasmin