Resmi Ajukan Amnesti ke Jokowi, Baiq Nuril Cerita Awal Mula Kasus Mesum Kepsek
JAKARTA, iNews.id - Baiq Nuril, terpidana pelanggaran Undang-Undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE) resmi menyerahkan permohonan amesti ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Permohonan itu diserahkan hari ini, Senin (15/7/2019) ke Sekretariat Negara (Setneg).
Mantan pegawai honorer SMAN 7 Mataram itu juga menyerahkan surat dukungan kepada Jokowi agar memberikan amnesti. Surat dukungan itu diserahkan kepada Kepala Staf Kantor Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Saat menyerahkan surat permohonan amnesti, Baiq Nuril menceritakan kembali awal mula kasus yang menimpanya itu. Dia menceritakan, kasus itu terjadi pada 2013.
"Teror yang dilakukan oleh atasan saya terjadi berulang kali, bukan hanya melalui pembicaraan telepon, tapi juga saat perjumpaan langsung. Saya dipanggil ke ruang kerjanya. Tentunya saya tidak perlu menceritakan secara detail kepada Bapak, apa yang atasan saya katakan atau perlihatkan kepada saya. Sampai pada suatu hari saya sudah tidak tahan, saya merekam apa yang atasan saya katakan melalui telepon," katanya dengan terbata-bata.
Dia mengungkapkan, tidak memiliki niat sama sekali untuk menyebarkan rekaman tersebut. Baiq mengaku, dirinya hanya rakyat kecil yang berupaya mempertahankan pekerjaan agar dapat membantu suami menghidupi anak-anaknya.
"Dalam pikiran saya saat merekam, jika kemudian atasan saya benar-benar 'memaksa' saya untuk melakukan hasrat bejatnya, dengan terpaksa, akan saya katakan padanya saya merekam apa yang dia katakan," tuturnya.
Namun, Baiq menyadari, mungkin satu kesalahan yang dilakukan adalah menceritakan rekaman tersebut pada temannya. "Teman saya, yang karena niat baiknya ingin membantu saya, lalu meminta rekaman tersebut untuk diberikan ke DPRD Mataram. Bapak, apakah saya salah saat saya memberikan rekaman itu? Apakah kawan saya salah berupaya membantu saya 'lepas' dari 'teror cabul' atasan saya? Tetapi, sungguh bukan saya Pak Presiden yang memindahkan file rekaman dari telepon genggam saya. Teman saya yang memindahkan materi rekaman dari telepon genggam saya ke laptopnya," ujar Baiq.
Motif Penyebaran
Baiq menambahkan, motif temannya itu untuk membantunya agar lepas dari tekanan atasan. Kawan Baiq Nuril tersebut juga berstatus honorer. Belakangan, ternyata teman Baiq itu menceritakan kepada tiga orang kawan lain yang berstatus guru PNS dan seorang guru honorer.
"Semua kawan-kawan saya ingin membantu saya. Setelah itu saya tidak tahu apa yang terjadi," ucap Baiq dengan menangis.

Pada 17 Maret 2015, Baiq dilaporkan karena dianggap mempermalukan atasan. Belakangan diketahui, dasar pelaporan karena rekaman tersebut telah menyebar di media sosial. Selama dua tahun dia bolak-balik menjalani pemeriksaan di Polres Mataram.
Pada 27 Maret 2017, dia kembali datang ke Polres untuk panggilan pemeriksaan lanjutan tanpa didampingi kuasa hukum sambil membawa anaknya yang berumur lima tahun. "Ternyata, saat itu saya langsung ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan. Saya ditahan sebelum saya menjalani proses sidang di PN Mataram," kata Baiq.
Baiq menjalani sidang perdana pada 4 Mei 2017 di PN Mataram dengan dakwaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat (1). Jaksa Penuntut, Ida Ayu Camuti Dewi, menuntut Baiq 6 tahun penjara dan harus membayar denda sebesar Rp500juta.
Putusan majelis hakim PN Mataram pada 26 Juli 2017 memutuskan Baiq Nuril Maknun, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum. Namun, Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Majelis Hakim PN Mataram pada 26 September 2018. Dalam putusannya, MA mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pada 4 Januari 2019, Baiq melalui kuasa hukum memutuskan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Namun, pada 4 Juli 2019, MA menyatakan menolak PK yang dia ajukan.
"Tapi, saya tidak akan pernah menyerah. Sekali lagi, bagi saya perjuangan ini adalah perjuangan untuk menegakkan harkat martabat kemanusiaan di negara tercinta ini. Saya selalu yakin kebenaran pasti akan terungkap dan keadilan pasti akan terjadi," tuturnya.
Perjuangan Kita
Dari perjalanan kasusnya itu, Baiq mengaku belajar peristiwa hukum ini bukan lagi perjuangan pribadi, yaitu sekadar memenuhi keinginan lolos dari jerat hukum yang tidak adil sebagai korban.
"Ini perjuangan kami. Dan, saya pun belajar 'kami menjadi kita', saat saya menyaksikan bapak di media mengatakan bahwa bapak mendukung saya menemukan keadilan. Perjuangan saya menjadi perjuangan kami. Perjuangan kami menjadi perjuangan kita, saat Bapak pun berulangkali tanpa ragu menyatakan akan memberikan amnesti kepada saya," kata Baiq dengan suara bergetar.

Dia yakin, Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara menyampaikan niat mulia tersebut bukan karena "air mata" Baiq Nuril sebagai korban.
"Saya sebagai rakyat kecil sangat yakin, niat mulia bapak memberikan amnesti kepada saya didasari karena jiwa kepemimpinan bapak yang menyadari keputusan amnesti tersebut merupakan bentuk kepentingan negara dalam melindungi dan menjaga harkat martabat rakyatnya sebagai manusia. Saya sangat berterima kasih dan mendukung niat mulia Bapak Presiden Joko Widodo yang akan menggunakan hak prerogatif sebagai Presiden RI untuk menjalankan amanah konstitusi UUD 1945 Pasal 14 ayat (2), yaitu dengan memberikan amnesti kepada saya, Baiq Nuril Maknun," tutur Baiq Nuril.
Baiq Nuril didampingi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Executive Director Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto, anggota DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Rieke Diah Pitaloka dan pengacara Baiq Nuril, Widodo Dwi Putro.
Editor: Djibril Muhammad