SBY Minta Macron Lebih Arif dan Bijaksana
JAKARTA, iNews.id - Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuliskan pesan untuk Presiden Prancis, Emmanuel Macron terkait polemik ucapannya soal karikatur Nabi Muhammad SAW dan Islam. SBY meminta Macron untuk lebih arif dan bijaksana saat menyampaikan pandangan terkait keyakinan atau agama lain.
Pesan tersebut ditulis SBY di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Pesan itu dibacakan staf pribadi SBY, Ossy Dermawan dalam podcast yang diunggah di akun resmi SBY di Instagram, Youtube, dan Facebook pada Senin (2/11/2020) dini hari.
"Khusus kepada Presiden Prancis Macron, Anda bisa menjadi pemimpin yang lebih arif dan lebih bijaksana. Tolong imbangi pandangan dan keyakinan Anda, dengan pandangan dan keyakinan pemimpin lain yang berbeda. Ingat, semua bangsa punya hak untuk tinggal dan hidup di bumi ini. Semuanya setara. Tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran dan selalu mendiktekan pandangan-pandangannya," tulis SBY.
SBY menegaskan Indonesia sebagai sahabat Prancis selalu ingin negara tersebut diberi kedamaian dan kesejahteraan. Dia juga berdoa agar bangsa Prancis bisa menjalin persahabatan dan kemitraan yang kuat dengan semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Namun, SBY mengingatkan terorisme kejahatan luar biasa yang tidak mengenal agama.
"Khusus menyangkut keamanan dalam negeri Anda, saya juga berharap Perancis dibebaskan dari berbagai aksi teror dan kekerasan yang kerap terjadi. Terorisme adalah “extraordinary crimes”, dan sejatinya tak mengenal agama. Radikalisme juga ada di identitas mana pun, agama apapun," tulisnya.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini mengatakan apa yang disampaikannya bukan kata-kata belaka. Dia menjelaskan saat memimpin Indonesia, Indonesia juga mengalami aksi-aksi terorisme yang serius. Menurutnya Indonesia selalu tegas memerangi terorisme.
"Kami juga tegas dalam memerangi terorisme. Namun, tidak pernah mengatakan bahwa agama Islam yang salah dan bermasalah, seperti nada bicara Anda beberapa saat yang lalu," tulis Presiden RI periode 2004-2014 itu.
Karena itu, SBY mengatakan Macron sebagai presiden Prancis punya peluang untuk mengubah jalannya sejarah dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Khususnya terkait pandangan kebebasan yang sesungguhnya tidak mutlak dan tetap ada batasnya.
SBY mengingatkan terkait Universal Declaration of Human Rights yang diproklamasikan dan diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Prancis yang menetapkan adanya pembatasan atau limitation. Pembatasan itu berkaitan dengan penggunaan hak dan kebebasan yang dimiliki oleh seseorang (the exercise of rights and freedoms).
"Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29 Ayat 2 dari Universal Declaration of Human Rights, menurut saya jiwa dan esensinya adalah penggunaan hak dan kebebasan itu dibatasi oleh pertimbangan. Atau jika berkaitan dengan moralitas, ketertiban, dan keamanan masyarakat serta kesejahteraan umum. Saya berpendapat penggambaran karikatur Nabi Muhammad SAW termasuk dalam lingkup pembatasan ini," tulisnya.
Selain itu, SBY melanjutkan, dia pun mengikuti putusan Mahkamah HAM Uni Eropa atas dugaan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW oleh seorang warga Austria dalam sebuah seminar di 2009. Diputuskan bahwa tindakan seseorang yang didakwa menghina Nabi Muhammad SAW tersebut tidak dilindungi atau tidak sesuai dengan Pasal 10 tentang Kebebasan berpendapat dalam Konvensi HAM Uni Eropa.
Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Kriminal Wina 15 Februari 2011 dan Pengadilan Banding Wina bulan Desember 2011 atas kasus serupa. Mahkamah juga mengatakan bahwa putusan kedua pengadilan di Wina tersebut sudah benar dan adil.
"Karena telah mempertimbangkan kebebasan berpendapat warga negara Austria tersebut, sekaligus dihadapkan dengan hak masyarakat (khususnya Muslim) di Austria untuk menjaga kehormatan agama mereka, serta hak pemerintah Austria untuk menjaga perdamaian antar umat beragama di negeri itu," kata SBY.
Menurut mantan Menko Polhukam ini, cerita tentang putusan Mahkamah HAM Uni Eropa ini perlu dia angkat untuk dua alasan. Pertama, hal ini bisa menginspirasi dan menjadi pembanding bagi negara dan masyarakat Prancis tentang batas-batas sebuah kebebasan. Dia tahu, Prancis merupakan negara terkemuka dan punya peran penting di komunitas Uni Eropa, bahkan di PBB.
"Saya berharap, jiwa dan esensi putusan Mahkamah HAM Uni Eropa tersebut juga menyiratkan nilai-nilai (shared values) yang dianut oleh Uni Eropa secara keseluruhan," ucapnya.
Kedua, sambung dia, cara yang ditempuh oleh komunitas muslim di Austria tersebut juga bisa menginspirasi komunitas muslim di negara lain jika harus menuntut haknya karena agamanya dihina oleh pihak lain. Menurutnya itulah cara yang benar, karena dilakukan secara damai dan konstitusional, ketimbang dengan menggunakan kekerasan dan harus main hakim sendiri.
"Saya pikir itu dulu yang mesti saya sampaikan. Ini bukan forum ilmiah buat kita saling berdebat dan berargumentasi. Ini hanyalah forum podcast buat saya menyampaikan hak dan kebebasan yang saya miliki, yang dijamin oleh The Universal Declaration of Human Rights," ujarnya.
SBY menegaskan dirinya memiliki kesamaan dengan Macron yakni pecinta demokrasi yang menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan. Namun, di sisi lain SBY menjelaskan dirinya mencintai kedamaian dan perdamaian. Menurutnya kedamaian mensyaratkan hadirnya toleransi dan kerukunan antar masyarakat dan bangsa yang berbeda-beda identitasnya.
"Karenanya, saling menghormati, saling toleran, dan saling bertenggang rasa adalah kondisi yang harus dijaga dan dirawat dengan baik," tutur SBY.
Editor: Rizal Bomantama