Sejarah Jadah Tempe Jogja, Hidangan Legendaris Favorit Sultan yang Wajib Dicoba
JAKARTA, iNews.id - Jadah tempe menunjukkan bagaimana makanan sederhana dapat berkembang menjadi ikon kuliner Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tak hanya lezat, penganan yang dikenal sebagai perpaduan jadah berbahan ketan dan tempe bacem ini juga menyimpan nilai budaya yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat di lereng Gunung Merapi.
Jadah tempe sudah puluhan tahun dikenal sebagai makanan rakyat, terutama di kawasan Kaliurang. Keunikan rasa serta proses pembuatannya membuat makanan ini tetap populer hingga kini.
Sebagian besar wisatawan yang datang ke Yogyakarta, khususnya ke kawasan Kaliurang, hampir selalu mencari jadah tempe sebagai oleh-oleh wajib.
Sejarah jadah tempe Jogja tak lepas dari tradisi masyarakat pedesaan yang memanfaatkan hasil bumi lokal. Ketan menjadi bahan makanan pokok yang mudah ditemukan, sementara tempe merupakan sumber protein murah yang sudah menjadi bagian dari kebudayaan Jawa sejak ratusan tahun lalu.
Dalam keseharian, masyarakat lereng Merapi sering mengolah ketan menjadi jadah, semacam lontong ketan yang ditumbuk dan dicampur sedikit garam serta santan. Sementara itu, tempe bacem dibuat sebagai lauk yang tahan lama karena proses perendaman gula jawa dan rempah.
Gabungan dua makanan ini pada awalnya hanyalah hidangan rumahan untuk menemani aktivitas warga. Namun, perpaduan rasa gurih, manis, dan legit membuatnya semakin diminati hingga akhirnya dijual secara luas.
Dikutip dari Humas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY, Rabu (19/11/2025), jadah tempe pertama kali dipopulerkan oleh Ngadikem Sastrodinomo, seorang carik atau juru tulis desa pada 1950-an. Makanan itu dihidangkan di warungnya yang berlokasi di Telaga Putri, Kaliurang.
Inovasi jadah tempe kala itu menarik perhatian warga, termasuk kalangan keraton. Sri Sultan Hamengkubuwono IX pun sampai menyarankan nama Mbah Carik untuk melengkapi penyebutan jadah tempe agar berbeda dengan hidangan yang lain.
Wisatawan yang berkunjung ke Kaliurang juga sering mendengar kisah jadah tempe menjadi makanan favorit Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Cerita inilah yang ikut mengangkat reputasi makanan tradisional itu hingga dikenal sebagai hidangan istimewa yang layak disuguhkan kepada tamu agung.
Selain itu, posisi Kaliurang sebagai kawasan wisata pegunungan sejak masa kolonial ikut memperluas popularitas jadah tempe. Wisatawan Belanda pada era dulu kerap membeli makanan ini karena rasa manis tempe bacem dianggap cukup ramah di lidah mereka.
Jadah tempe akhirnya menjadi identitas kuliner Kaliurang. Hidangan itu bahkan disejajarkan dengan gudeg yang menjadi simbol Yogyakarta secara keseluruhan.
Hingga 75 tahun berlalu, proses pembuatan jadah tempe masih mempertahankan cara-cara lama. Ketan direndam, dikukus, lalu ditumbuk hingga halus.
Sementara itu, tempe dipotong, lalu direbus dengan gula jawa, kecap, bawang, dan rempah sehingga menghasilkan warna cokelat pekat dan cita rasa khas bacem Yogyakarta.
Banyak penjual tetap memakai kayu bakar agar rasa jadah tempe tetap terasa autentik. Teknik tradisional inilah yang menjaga orisinalitas kuliner dari generasi ke generasi.
Editor: Rizky Agustian