Sejarah Stadion Utama Gelora Bung Karno dan Filosofi Atap Temu Gelang
JAKARTA, iNews.id - Sejarah Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) sebagai stadion kebanggaan Indonesia tak pernah sepi dari sorotan masyarakat. Karena kemegahannya, stadion ini bahkan selalu menjadi pilihan untuk menggelar event-event internasional, terutama untuk timnas sepak bola Indonesia.
Sebut saja FIFA Matchday antara Indonesia dan juara dunia Argentina yang berlangsung beberapa waktu lalu. Tiketnya ludes terjual hanya dalam waktu beberapa menit.
Lalu stadion ini juga menjadi kandidat venue Piala Dunia U-17 yang berlangsung akhir tahun nanti. Tak hanya event olahraga, SUGBK juga menjadi pilihan konser-konser penyanyi atau band dunia seperti Blackpink pada Maret 2023 hingga Coldplay yang akan datang pada November 2023.
Dilihat dari namanya, Stadion Utama Gelora Bung Karno dibangun sesuai dengan tokoh pencetusnya yakni Presiden pertama RI, Soekarno. Stadion ini berada di Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno, bersanding dengan tempat olahraga lainnya seperti Istora, stadion renang, stadion atletik, gedung basket, lapangan voli, lapangan menembak, dan perkampungan atlet.
Menurut laman resmi kemdikbud.go.id, pembangunan kompleks olahraga ini dimulai tanggal 8 Februari 1960 menjelang event multiolahraga Asian Games IV 1962. Tak main-main, Bung Karno mengawasi langsung pembangunan sebagai bentuk keseriusan Indonesia menggelar event tersebut.
Apalagi Asian Games 1962 merupakan pertama kalinya Indonesia menjadi tuan rumah event olahraga berskala internasional. Setelah Asian Games IV, Indonesia juga menggunakan Kompleks GBK untuk event Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pertama pada tahun 1963.
Tak hanya menjadi ruang olahraga, Bung Karno menegaskan GBK harus menjadi paru-paru Jakarta dan bisa digunakan warga untuk berkumpul.
Salah satu hal unik dan paling menonjol dari stadion ini yaitu desain atapnya. Terbuat dari baja, atap SUGBK berbentuk melingkar dan membentuk cincin raksasa.
Diketahui desain atap SUGBK itu juga digagas langsung oleh Sang Proklamator. Dia tak sungkan memerintahkan arsitek dari Uni Soviet untuk membuat stadion dengan desain itu.
Meski demikian, gagasan tersebut sempat mental karena desain atap melingkar penuh untuk stadion dianggap tak lazim di masa itu. Arsitek Uni Soviet tersebut menegaskan stadion-stadion saat itu hanya membangun atap untuk menutupi sebagian tribun.
Namun Bung Karno tetap ngotot agar SUGBK menggunakan desain atap yang dia namakan "Temu Gelang". Dia memang menginginkan desain yang tidak biasa untuk memukau siapa saja yang melihatnya.
"Sebuah konstruksi khusus yang dibangun adalah atap baja besar yang membentuk cincin raksasa dan melindungi para penonton dari hujan dan panas, yang disebut oleh Bung Karno sebagai “Temu Gelang”," tulis Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dikutip Selasa (4/7/2023).
GBK sempat berganti nama menjadi Gelora Senayan pada era Orde Baru. Kemudian kembali lagi menjadi Gelora Bung Karno seperti semula sesuai Surat Keputusan Presiden No 7/2001.
Selain menjadi paru-paru Jakarta, Kompleks GBK juga didesain ramah lingkungan. Apalagi setelah direnovasi selama dua tahun untuk penyelenggaraan Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.
Ya, Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games setelah 56 tahun. Setelah direvonasi, GBK yang merupakan kompleks olahraga tertua dan terbesar di Indonesia menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai sumber utama listriknya.
Kemudian GBK menggunakan lampu Light Emitting Diode (LED) standar tertinggi. Standar itu telah diverifikasi oleh federasi sepakbola dunia (FIFA) dan federasi atletik internasional (IAAF).
Sebagai stadion ramah lingkungan, SUGBK menggunakan panel surya dengan kapasitas 420 kWp yang mampu menghasilkan rata-rata 1.470 kWh/hari. Selain itu, listrik GBK juga terkoneksi dengan sumber listrik dari PLN dan genset.
Stadion ini sempat dinobatkan sebagai salah satu stadion terbesar di dunia dengan kapasitas 110.000 sejak pertama kali diresmikan. Setelah dua kali renovasi pada 2006 dan 2017, SUGBK kini berkapasitas 77.193 dengan tempat duduk tipe single seat.
Sejarah GBK yang panjang ini selalu menjadi perhatian karena salah satu penanda pembangunan Indonesia di masa awal kemerdekaan. Hingga kini pun SUGBK selalu menjadi pilihan dalam menggelar event internasional yang membawa harum nama Indonesia di mata dunia.
Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban masyarakat Indonesia untuk menjaga SUGBK sebagai warisan dari pendiri bangsa.
Editor: Rizal Bomantama