Sejarawan Ini Sebut Pemindahan Ibu Kota Akan Catatkan Tinta Emas Sejarah RI
JAKARTA, iNews.id - Rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan menuai pro dan kontra. Sejumlah kalangan mendukung gagasan Presiden Joko Widodo tersebut. Namun, ada pula anggapan pemindahan itu "mengebiri" sejarah atas penetapan Jakarta sebagai Ibu Kota.
Dalam pandangan Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, jika nantinya Ibu Kota dipindah, Indonesia akan mencatatkan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Indonesia akan memiliki Ibu Kota yang bukan peninggalan kolonial.
"Indonesia akan mencatat sejarah baru dengan membuat Ibu Kota baru. Ibu Kota yang bukan warisan kolonial, Ibu Kota yang kita ciptakan sendiri. Itu akan menjadi tinta emas dalam sejarah Indonesia," tutur Asvi dalam diskusi Polemik MNC Trijaya bertema "Gundah Ibu Kota Dipindah" di Jakarta, Sabtu (24/8/2019).
Asvi mengatakan, pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan berkaitan dengan dua hal. Pertama faktor pendorong dan faktor penarik. Dalam sejarah RI, faktor pendorong dan penarik ketika pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta pada 1946 dipicu kondisi Jakarta yang saat itu dinilai tidak aman.
"Saat itu Jakarta tidak aman secara politik, polisi dan tentara tidak berfungsi secara penuh sehingga Yogya menawarkan menjadi pusat pemerintahan dan presiden dan wapres setuju. Kepentingan yang memaksa, itu faktor pendorongnya," ucap Asvi.
Selanjutnya pada 1948, presiden dan wakil presiden ditawan Belanda. Presiden kemudian sempat mengirim telegram untuk membentuk pusat pemerintahan darurat di Bukittinggi. "Faktor pendorongnya, kondisi yang memaksa," ujarnya.
Pada 1950, Presiden berkedudukan di Jakarta. Selanjutnya pada 1957, Palangkaraya, Kalimantan Tengah ditetapkan sebagai Ibu Kota provinsi. Menurut Asvi, Presiden Soekarno saat itu merasa cocok untuk menjadikan Palangkaraya menjadi Ibu Kota negara karena posisinya yang berada di tengah tengah wilayah Indonesia dan luas wilayahnya sepertiga dari luasan Indonesia.
"Saat itu ada kegentingan yang memaksa dan menjadi faktor penarik keinginan Bung Karno agar Ibu Kota negara berada di tengah-tengah," katanya.
Menurut Asvi, saat itu Bung Karno sangat serius untuk melakukan pemindahan, bukan sekadar mewacanakan saja. Bung Karno bahkan sudah membuat desain. Namun ide menjadikan Palangkaraya sebagai pusat pemerintahan terbengkalai ketika Indonesia mendapatkan tawaran menjadi tuan rumah Asian Games.
Jakarta pun ditata, mulai membangun stadiun besar di Senayan, patung selamat datang di depan Hotel Indonesia. Pada 1964, Jakarta ditetapkan sebagai Ibu Kota.
Menurut Asvi, jika Ibu Kota akhirnya benar-benar pindah, Jakarta akan tetap menjadi kota bisnis. Menurutnya, dalam konteks kekinian, faktor pendorong untuk memindah Ibu Kota yakni kemacetan, banjir, dan kemungkinan tenggelamnya Jakarta utara karena ada kenaikan air laut yang saat ini sudah mencapai 2 cm.
"Ada yang meramalkan Jakarta Utara akan tenggelam. Jadi ada beberapa faktor pendorong. Faktor menarik juga jelas bahwa ditempatkannya Ibu Kota di tengah tengah wilayah Indonesia, pembangunan bisa menoleh ke timur," paparnya.
Mengenai persoalan sejarah, Asvi mengatakan bahwa meski nantinya Ibu Kota tidak lagi berada di Jakarta, tetap saja Jakarta akan diingat terus sebagai Kota Proklamasi yang mana proklamasi terjadi hanya sekali seapanjang masa.
"Maka Jakarta akan selalu dikenal sebagai Kota Proklamasi. Menurut saya tak ada persoalan kalau Ibu Kota dipindah kalau itu baik untuk Indonesia ke depan bahwa Indonesia mengarah ke timur," ucapnya.
Editor: Zen Teguh