Semangat Kepahlawanan Sampai Cape Town, Menggelora dalam Diplomasi Indonesia
Tudiono
Konsul Jenderal RI Cape Town
HARI ini 10 November, tepat 78 tahun pertempuran terbesar dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Dahsyatnya pertempuran yang berlangsung selama 3 minggu itu menjadikannya sebagai "neraka" bagi pasukan sekutu. Sekitar 1.600 prajurit tewas, hilang, dan luka-luka. Selain itu tercatat Brigjen AWS Mallaby tewas tertembak di Jembatan Merah, Surabaya, dalam pertempuran Inggris dengan pemuda Surabaya sebelumnya.
Korban jiwa dan luka-luka dari pejuang Indonesia juga sangat besar mengingat tidak berimbangnya persenjataan.
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka," demikian isi pidato Bung Tomo pada 10 November 1945.
Pecahnya pertempuran Surabaya tidak lepas dari rentetan peristiwa dan arogansi sekutu, dalam hal ini Inggris, yang menyebabkan kekecewaan dan kemarahan rakyat yang baru saja merdeka. Sekutu baru saja memenangkan Perang Dunia II dengan menyerahnya Jepang pada 14 Agustus 1945 setelah mengebom Kota Hiroshima dan Nagasaki, masing-masing pada 6 dan 9 Agustus.
Mereka selanjutnya ingin memulangkan tentara Jepang di Indonesia ke tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, dan mempertahankan keadaan di Indonesia pasca-penyerahan diri pasukan Jepang. Mereka selanjutnya mengirimkan Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang dikomandani Letnan Jenderal Philip Christison dan tiba di Jakarta pada 29 September 1945.
Ternyata dalam perkembangannya Inggris melakukan kesepakatan dengan Belanda, membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Hal ini termuat dalam Civil Affair Agreement pada pada 24 Agustus 1945.
Tindakan orang-orang Belanda menaikkan bendera di Hotel Yamato pada 19 September 1945 tanpa persetujuan Pemerintah Surabaya memicu kemarahan rakyat karena melecehkan kedaulatan Indonesia. Hal ini berujung pada pertempuran di Hotel Yamato dan dirobeknya bendera merah putih biru Belanda menjadi merah putih oleh arek-arek Suroboyo yang dalam hal ini dilakukan Kusno Wibowo dibantu Hariyono.
Pada 27 Oktober, sekutu menyerbu penjara yang menahan perwira sekutu dan membebaskannya. Bung Tomo dan pasukannya pun menyerang pos-pos pertahanan sekutu pada 28 Oktober.
Petempuran-pertempuran bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya terus terjadi dan memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby yang menjadi pemimpin tentara Inggris pada 30 Oktober 1945.
Kematiannya membuat pihak Inggris marah kepada Indonesia yang berakibat dikeluarkannya Ultimatum 10 November 1945 oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh. Ultimatum tersebut memuat beberapa poin, yakni orang-orang Indonesia harus meletakkan bendera merah putih di atas tanah, para pemuda harus menghadap dengan “angkat tangan” dan bersedia menandatangani surat menyerah tanpa syarat, wanita dan anak-anak harus meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 WIB, pribumi diancaman hukuman mati apabila masih membawa senjata setelah pukul 06.00 WIB pada 10 November 1945.
Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, maka sekutu akan menyerang Surabaya pada 10 November 1945.
Gubernur Suryo melalui radio pada pukul 23.00 mengumumkan penolakannya hingga pertempuran Surabaya meletus pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB.
Darah kepahlawanan Indonesia itu ternyata telah menyebar ke Cape Town, Afrika Selatan, lebih dari 350 tahun yang lalu dibawa oleh ulama-ulama pejuang Indonesia. Dua di antara ulama pejuang yang sangat dihormati masyarakat Cape Town adalah Syekh Yusuf Al Makassari dan Tuan Guru yang bernama asli Imam Abdullah Qadhi Abdus Salam. Mereka diasingkan ke Cape Town karena perlawanannya terhadap VOC.
Syekh Yusuf Al Makassari lahir di Makassar pada 3 Juli 1626. Dia menghabiskan masa muda untuk belajar dan banyak merantau ke beberapa negara untuk belajar. Beberapa di antaranya adalah Suriah, Turki, Yaman, dan Arab Saudi, pada 1644.
Setelah selesai dari Arab Saudi, dia kembali ke Indonesia. Namun, dia menyadari bahwa Makassar saat itu sudah diduduki oleh VOC. Akhirnya, dia memutuskan pergi dari Makassar dengan membawa pasukan untuk bertolak ke Banten, membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam beberapa kali perang, dia tertangkap dan diasingkan oleh VOC ke Ceylon (sekarang Sri Lanka) pada 1682.
VOC berharap, dengan pengasingan tersebut, Syekh Yusuf Al Makassari tidak akan menjalin hubungan dengan orang-orang penting.
Dugaan VOC rupanya meleset. Syekh Yusuf malah membangun hubungan baik dengan orang-orang Nusantara yang singgah dalam perjalanan menuju haji. Tidak hanya itu, dia juga membangun relasi dengan ulama-ulama India seperti Sidi Matilaya, Abu Al Ma’ani Ibrahim Minhan, dan Abd Al Shiddiq bin Muhammad Shadiq. Akhirnya, pada 27 Juni 1693, dia diasingkan kembali bersama 49 pengikut, 2 istri, dan 12 anak dengan kapal Voetboeg ke Tanjung Harapan dan kemudian dibawa ke Zandvliet.
Atas perjuangan Syekh Yusuf ini, dia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 1995 dan oleh Pemerintah Afrika Selatan pada 2005.
Hingga kini, sosok Syekh Yusuf sangat dihormati oleh komunitas Cape Malay yang merupakan keturunan Indonesia yang jumlahnya telah melampaui 300.000 orang. Makam (Kramat) Syekh Yusuf masih terawat dengan baik di Macassar, Cape Town.
Sementara itu Tuan Guru yang bernama asli Abdullah bin Qadhi Abdus Salam, karena perlawanannya terhadap VOC, ditangkap dan diasingkan ke Robben Island dengan kapal Zeepard. Roben Island merupakan pulau kecil tidak jauh dari Cape Town tempat Nelson Mandela dipenjara selama sekitar 24 tahun karena menentang pemerintah aparteid.
Selama di Robben Island, Tuan Guru yang hafal Alquran menulis ulang Alquran berdasarkan ingatannya dan mengajarkan penduduk sekitar. Perannya ini menjadikannya disebut Tuan Guru.
Setelah masa tahanannya selesai, Tuan Guru memutuskan untuk tinggal di Cape Town. Salah satu pengikutnya yang bernama Achmad van Bongalen menghibahkan satu bangunan yang akhirnya dijadikan masjid oleh Tuan Guru dan menjadi masjid pertama di Afrika Selatan dengan nama Masjid Al Auwwal.
Masjid ini berada di daerah Bo Kaap, Cape Town. Selain itu, beliau juga menuliskan buku Ma’rifat wal Iman wal Islam yang kemudian menjadi panduan umat muslim Cape Town. Tuan Guru meninggal di Cape Town pada tahun 1807 pada usia 95 tahun.
Darah kepahlawanan Indonesia yang senantiasa konsisten menentang penjajahan dan ketidakadilan juga tumbuh subur di ranah diplomasi. Indonesia berada di garis terdepan dalam perjuangan menentang penjajahan. Hal ini antara lain tercermin pada peran penting Indonesia dalam menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung dan melahirkan the 10 principles of Bandung yang merupakan salah satu milestones diplomasi Indonesia.
Indonesia bahkan sejak masa Presiden Soekarno sampai sekarang aktif mendukung kemerdekaan Palestina, satu-satunya peserta KAA yang masih belum memperoleh kemerdekaannya.
Presiden Soekarno pada 1962 menegaskan, "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina maka sepanjang itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajah Israel".
Kata-kata Presiden Sukarno ini juga didengungkan oleh Ketua Delegasi RI pada The 60th Annual Session of AALCO, New Delhi, pada 26-28 September 2022 dan sangat diapresiasi oleh Ketua Delegasi Palestina.
Dukungan Indonesia juga ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi pada sidang Majelis Umum PBB ke-78 pada 23 September 2023. Ditegaskan, “For far too long, we’ve allowed our Palestinian brothers and sisters to suffer. Indonesia won’t back an inch in our support for Palestinian statehood.”
Dukungan yang konsisten itu juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Peresmian Pembukaan Rakernas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Jakarta, Selasa, 7 November 2023.
Presiden menyampaikan, "Dukungan Indonesia terhadap masyarakat Palestina tidak akan pernah surut".
Darah dan jiwa kepahlawanan itu mengalir dalam urat nadi diplomasi Indonesia untuk memerangi penjajahan, ketidakadilan, keterbelakangan, kemiskinan.
Darah kepahlawanan itu terus menjadi sumber kekuatan moral dan spiritual untuk mengantarkan Indonesia menuju Indonesia emas, sebagai negara maju, menjadi salah satu kekuatan 4-6 terbesar ekonomi dunia, menjadi key Global South Power dan berpengaruh.
Selamat Hari Pahlawan ke-78.
Jayalah negeriku, Indonesia.
Editor: Anton Suhartono