Sofyan Basir Akui Pernah Bertemu Tersangka Kasus PLTU Riau Eni Saragih
JAKARTA, iNews.id – Setelah menjalani pemeriksaan selama hampir tujuh jam, Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir akhirnya keluar dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sofyan mengaku dicecar sejumlah pertanyaan oleh penyidik terkait dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Sofyan keluar gedung KPK sekitar pukul 16.20 WIB. Sama seperti ketika datang, dia banyak melempar senyum. Memenuhi janjinya saat jeda pemeriksaan sebelumnya, Sofyan menjawab satu persatu pertanyaan media.
"Ditanya mengenai tugas saya, kewajiban saya, fungsi saya, sesuai dengan fungsi dirut. Ya, saya jelaskan masalah-masalah kebijakan dan sebagainya." kata Sofyan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (20/7/2018).
Ditanya apakah kenal dengan tersangka Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan pemilik bos Blackgold Natural Resources Limited Johanes Budisutrisno Kotjo, Sofyan tak menampiknya.
”Ya dulu anggota DPR (Eni Saragih) pernah ketemu lah. (Johanes Kotjo) pengusaha, kenal," kata Sofyan. Kendati demikian, dia menyangkal pernah ada pertemuan khusus antara dirinya, Eni, dan Johannes terkait proyek PLTU Riau-1.
"Gak ada. Gak tau. Tanya ke penyidik. Kita belum berhak. Kita ikuti proses," ujarnya.
Kasus dugaan suap dalam kesepakatan kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1 terungkap ketika petugas KPK menangkap Eni Saragih di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Jumat (13/7/2018).
KPK menduga Eni menerima suap terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1 dari pengusaha Johannes Kotjo dengan nilai total Rp 4,8 miliar. Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan uang Rp500 juta dalam pecahan Rp100.000 dan beberapa dokumen dari tangan Tahta Maharaya sebagai staf dan juga keponakan Eni Saragih.
KPK menduga uang Rp500 juta tersebut merupakan janji atas fee 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Saragih dan para tersangka lainnya atas kerja sama dalam pembangunan PLTU.
Uang sebanyak Rp4,8 miliar tersebut diberikan secara bertahap. Pertama pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, dan pada 8 Juni 2018 Rp300 juta. Uang tersebut diberikan Johannes kepada Eni melalui staf dan keluarga.
Eni yang diduga sebagai penerima suap tersebut disangkakan melanggar pasal pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Editor: Zen Teguh