Terorisme 2023: Serangan Nol, Ancaman Berpindah
Muhamad Syauqillah
Ketua Prodi Kajian Terorisme SKSG UI, Wakil Ketua Lakpesdam PBNU
2023 menjadi tahun bersejarah bagi Indonesia. Pasalnya, untuk pertama kalinya sejak 2000 serangan teror berada di angka nol. Tentunya ini menjadi capaian yang patut diapresiasi dan menjadi role model pemberantasan terorisme ke depan.
Meskipun mencapai zero attack dalam hal serangan, namun sepanjang tahun lalu Densus 88 AT Polri menangkap sebanyak 147 orang yang terafiliasi dengan organisasi teror. Kesemua orang yang ditangkap tersebut berafiliasi dengan Al Jamaah Al Islamiyah, Jamaah Anshor Daulah, Anshar Daulah ,hingga Negara Islam Indonesia. Kondisi demikian ini memunculkan pertanyaan lanjutan mengapa serangan teror nol namun ada banyak penangkapan?
Harus diakui, revisi UU No 15 Tahun 2003 menjadi UU No 5 Tahun 2018, memberikan kewenangan preventive strike, dalam segala rupa penegakan hukum atas tindak pidana terorisme. Dengan adanya kewenangan demikian, aparat tidak perlu menunggu serangan teror terjadi. Ada kategori tindak pidana “praserangan teror” yang didefiniskan sebagai perbuatan kejahatan.
Selain itu, zero attack juga dapat dibaca berhasilnya deterrence impact kerja pencegahan terorisme dalam kerangka kontranarasi dan deradikalisasi, namun memang pendekatan yang masuk kategori soft approach ini masih memerlukan upaya serius dan berkelanjutan. Semisal bagaimana kerangka besar pencegahan dengan membangun upaya bersama multipihak.
Forecasting Terorisme 5.0
Untuk menjawab mengapa terdapat ketimpangan antara zero attack dengan jumlah penangkapan individu terelasi jaringan teror, tentunya ada beberapa argumentasi selain penguatan pencegahan. Pertama, bahwa hingga saat ini kita masih banyak mendapati berseliweran konten di ranah media sosial mempromosikan ideologi berbeda dari Pancasila. Kedua, banyaknya platform media sosial yang kurang sensitif terhadap isu radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang tersebar di dalam platform media sosial tersebut.
Dua problem di atas selalu menjadi diskusi menarik. Kita tahu bahwa rezim regulasi antiterorisme di Indonesia saat ini berbeda dengan sebelum reformasi. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah syarat mutlak dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Negara tidak bisa lagi semena-mena menerapkan aturan tanpa melihat aspek hak asasi manusia.
Kita dihadapkan pada kenyataan antara menyediakan ruang kebebasan berpikir bagi publik dan pengendalian bahaya radikalisasi. Antara mendorong kebebasan mengekspresikan pikiran dengan mengatur dan mengendalikan penyebaran ideologi ekstrem. Dua hal yang berjalan di ranah yang sama, mempromosikan hak asasi manusia sekaligus menjaga pertahanan dan keamanan negara. Kesemuanya berujung pada keamanan versus hak asasi manusia.
Dengan kondisi demikian, pengaturan tentang penyebaran ideologi teror, baik di ranah maya maupun dunia nyata, bagaimanapun sangat diperlukan, sampai titik mana ideologi teror dapat didiskusikan sebagai bagian dari wacana kognitif. Karenanya, tawaran sistem penyeimbangan antara (isu) keamanan dan perlindungan hak atas privasi perlu dilahirkan. Tentunya dengan memperhatikan realitas yang terus berubah (Wahyudi Djafar, 2022) seiring perkembangan situasi sosial. Solusi yang penyeimbang yang demikian perlu diwujudkan bukan hanya dalam wacana namun dalam langkah praktis.
Migrasi teror konvensional menuju siber
Berkaca berbagai modus operasi organisasi teror di masa lalu dan saat ini, pergeseran pola gerakan terlihat dengan jelas. Rekrutmen, propaganda, pendanaan, konsolidasi telah bermigrasi dari cara-cara konvensional tatap muka, menuju cara yang lebih modern nirkontak. Bahkan, tak jarang diketemukan fakta kolaborasi antara keduanya atau hibridisasi teror.
Memang saat ini pola dan modus operandi perekrutan, pendanaan dan konsolidasi teror sudah makin matang bermigrasi. Namun dalam bentuk serangan teror siber memang belum terlihat. Sejauh ini belum ada organisasi teror, kelompok teror, maupun individu yang melakukan serangan menyasar ruang-ruang siber sebagaimana teroris konvensional menyasar target dan sasarannya. Belum ada serangan terorisme dalam rupa siber yang mengakibatkan teror sebagaimana dimaksud dalam regulasi UU No 5 Tahun 2018. Artinya, pemanfaatan siber sejauh ini hanya untuk membantu serangan teror di dunia nyata, bukan di dunia maya. Dalam bahasa lainnya, ruang siber baru dijadikan perantara untuk serangan ruang sosial nyata.
Hal yang cukup nampak saat ini adalah ekstensifikasi gerakan teror dengan beragam strategi dari model konvensional, siber, maupun hibrid. Lone wolf dalam konteks serangan teror pun akan bermigrasi dan bertransformasi menjadi cyber lone wolf dan collective cyber terror.
Ada dua hal terkait penting dalam diskusi tentang siber dan terorisme. Pertama, tindak pidana terorisme, di mana ruang siber digunakan sebagai katalisator serangan terorisme. Wujud dari hal ini dapat ditemukan dalam berbagai modus pendanaan, rekrutmen, pelatihan, propaganda dan konsolidasi jaringan tindak pidana terorisme. Kedua, tindak pidana terorisme, di mana siber menjadi target sasaran aksi teror.
Berkenaan ruang siber sebagai target sasaran, tercatat pengalaman berbagai negara di dunia antara lain, Estonia pada 2007 di mana kelompok teror menyerang fasilitas pemerintahan. Ada juga pengalaman Srilanka pada 1998, di mana Black Tiger Internet yang menyerang sistem komunikasi vital negara. Lalu ada serangan teroris terhadap sistem irigasi di Kibbutz Saar, Iran (Daniel Cohen, 2014).
Menjaga ruang siber
Menilik model serangan kedua, Indonesia nampaknya perlu memitigasi dan menyiapkan langkah yang serius terhadap kemungkinan ruang siber sebagai sasaran teror. Berbagai peraturan tentang penanganan terorisme perlu ditinjau ulang dalam kerangka menyiapkan diri dari terorisme yang menyasar ruang siber.
Penyesuaian tentang definisi dan manajemen respons tindakan aparat keamanan perlu dikaji kembali menyesuaikan dengan forecasting terrorism di masa depan. Pertanyaan penting untuk hal ini adalah apakah respons terhadap serangan terorisme siber atau cyber terrorism memiliki kesamaan dengan serangan konvensional? Dalam konteks serangan teror konvensional, tim penindakan Polri memiliki kewenangan melakukan tindakan represif. Namun apabila terjadi serangan siber terhadap siapa penindakan tersebut dapat tertuju di ruang siber, apakah juga dapat menindak operator maya yang mungkin tidak berada di wilayah RI? Selain itu penting juga untuk meletakkan kewenangan kelembagaan berkenaan dengan terorisme siber ini. Persoalan siapa yang akan diberi kewenangan respon tersebut, BSSN-kah atau Polri-kah, sudah seberapa siap Polri dengan terorisme siber?
Hemat penulis, mengacu pada criminal justice system yang dianut oleh rezim pemberantasan terorisme di Indonesia, Polri menjadi salah satu elan vital. Lembaga ini berperan melakukan mirroring atas upaya penegakan hukum tindak pidana terorisme konvensional juga di dalam ruang siber. Penguatan Polri di mana Densus 88 menjadi ujung tombak dalam penanganan terorisme siber walau bagaimanapun sangat diperlukan. Dengan demikian hal ini bukan semata shifting response atas tindak pidana terorisme. Akan tetapi lebih berupa menguatkan lembaga yang ada agar tepat menghadapi hybrid terrorism dengan pola hibridasi pemberantasan tindak pidana terorisme.
Akhirnya, dengan menyimak indeks keamanan dan siber yang ada, maka makin nyata terdapat tantangan pemberantasan terorisme di ranah siber. Baik siber sebagai sarana (perantara) maupun target sasaran terorisme itu sendiri. Maka berkaca dari penanganan terorisme konvensional, nampaknya negara perlu menyiapkan berbagai macam pendekatan solutif multidisipliner. Tentunya dengan tetap mempertimbangkan dimensi hak manusia dalam norma penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. ***
Editor: Ahmad Islamy Jamil