Uang Kas Raib Rp600 Miliar, Mantan Dirut PNRI Bilang Tak Tahu
JAKARTA, iNews.id - Mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya mengaku tidak tahu soal uang perusahaan Rp600 miliar yang raib dari kas konsorsium PNRI. Dia juga banyak bungkam saat ditanya persoalan itu.
Pengakuan Isnu terjadi ketika menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (26/2/2018). Awalnya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Isnu terkait harga AFIS yang seharusnya Rp2.000/keping justru dibayar oleh pemerintah seharga Rp5.000/keping.
Jika dikalikan jumlah penduduk saat itu yang mencapai 172 juta jiwa, jumlah uang yang dibayarkan berjumlah Rp600 miliar. Namun, Isnu mengaku tidak memahami hal tersebut.
“Pertama, saya tidak paham mengenai AFIS, mengenai harga struktur saya juga tidak paham. Yang saya paham, dalam konsorsium ada perwakilan dan mereka selalu memonitor dan melaporkan prestasi kerjanya,” ujar Isnu yang hadir sebagai saksi dalam sidang dengan terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Tak puas, jaksa kembali menanyakan perihal pembayaran dari kementerian terkait kepada konsorsium PNRI. Isnu lantas menerangkan mekanisme pembayaran. Menurutnya, pembayaran itu baru bisa dilakukan bila vendor mengerjakan proyek sesuai target.
“Pertanyaan saya, Rp600 miliar ini kemana? Karena rekening konsorsium sudah habis. Uangnya kemana? Dilarikan kemana?” tanya jaksa KPK.
“Saya terus terang tidak paham mengenai AFIS bahkan nilainya pun saya tidak mengikuti,” jawab Isnu.
Jaksa kemudian langsung menduga bahwa uang itu hilang karena merupakan bagian dari fee commitment yang diserahkan pada sejumlah orang penerima aliran dana e-KTP. Namun, Isnu tetap bersikeras tidak mengetahui keberadaan uang tersebut.
“Saya tidak mengerti, terus terang,” ucap Isnu.
Seperti diketahui, konsorsium PNRI adalah perusahaan yang memenangkan tender proyek pengadaan e-KTP. Konsorsium itu terdiri atas Perum PNRI, PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo persero), PT LEN Industri (persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaputra. Diduga pemenangan tender ini sudah diatur sebelumnya agar dimenangkan oleh konsorsium PNRI.
Ketika bersaksi untuk terdakwa Direktur Utama PT Cahaya Wijaya Kusuma yang juga Direktur PT Murakabi Sejahtera Andi Agustinus alias Andi Narogong, Oktober 2017, Isnu Edhi Wijaya mengakui adanya lobi-lobi ke anggota DPR terkait proyek pengadaan e-KTP.
Menurut dia, setelah dimenangkan oleh konsorsium Perum PNRI, ada adendum kontrak hingga sembilan kali, termasuk di dalamnya untuk pembayaran terakhir dari Kemendagri ke konsorsium. Dalam dokumen yang dimiliki jaksa, Isnu mencantumkan ada 10 risiko dalam proyek pengadaan e-KTP. Salah satunya risiko politik yang masuk kategori pemerintah. Untuk mengatasi risiko politik terkait pembahasan dan persetujuan anggaran, perlu dilakukan lobi ke DPR.
Editor: Zen Teguh