Kaleidoskop: Tarik Ulur Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia
JAKARTA, iNews.id - Indonesia tengah mempersiapkan diri memasuki era kendaraan listrik pasca-diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Di mana perpres ini telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 8 Agustus 2019 lalu.
Namun, banyak tantangan dihadapi. Tarik ulur antara pelaku industri otomotif dan pemerintah terjadi terkait insentif yang diberikan bagi kendaraan listrik.
Para produsen otomotif mengusulkan dibutuhkan masa transisi dari kendaraan konvensional (ICE) ke kendaraan listrik murni (baterai), melalui hybrid (HEV) dan plug-in hybrid (PHEV). Pertimbangannya terkait kesiapan infrastruktur dan pasar. Namun, pemerintah ingin bergerak cepat ke kendaraan listrik murni baterai (BEV).
Sepanjang 2020, sejumlah langkah telah dilakukan pemerintah, mulai dari menyiapkan infrastuktur ketenagalistrikan sebagai penggerak utama kendaraan, menetapkan peta jalan (road map) Indonesia 4.0, sampai menebar iming-iming insentif bagi pelaku industri otomotif untuk memproduksi kendaraan dan baterai listrik di dalam negeri.
Forum Wartawan Otomotif Indonesia (Forwot) dan Forum Wartawan Industri (Forwin) pun memberikan catatan dalam pengembangan kendaraan listrik di Tanah Air.
1. Kolaborasi regulator dan pelaku industri
Riset Frost & Sullivan mengungkapkan 41 persen pengguna kendaraan di Indonesia akan beralih ke kendaraan listrik karena sudah menyadari manfaatnya dari sisi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Namun, untuk bisa menjaga dan mengembangkan minat tersebut, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi, antara lain harga mobil listrik relatif mahal, ekosistem mobil listrik belum ada, dan masih terbatasnya infrastruktur pengisian daya.
Kebijakan untuk mendukung mobil listrik juga kurang, sementara masyarakat belum memiliki pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya mobil listrik. Semua itu berujung pada rendahnya penetrasi mobil listrik ke pasar.
2. Satu frekuensi kebijakan lintas instansi pemerintah dan BUMN
Salah satu kunci sukses program mobil listrik di Indonesia berada di ranah kebijakan pemerintah. Sebab itu, dibutuhkan kolaborasi antara regulator, yaitu Kemenko Maritim dan Investasi, Kemenko Perekonomian, Kemenperin, Kemenkeu, Kemenhub, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kemenkes serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) dalam menciptakan regulasi mobil listrik yang selaras dan saling menunjang satu sama lain.
Khususnya dalam menentukan prioritas capaian kendaraan ramah lingkungan terhadap penurunan emisi karbon dari sektor transportasi, efisiensi konsumsi BBM dan polusi noise/bising yang ditimbulkan oleh sektor transportasi.
3. Insentif pajak untuk industri dan konsumen
Tingginya harga kendaraan listrik menghambat minat masyarakat membeli mobil listrik. Kondisi ini diakui oleh Taufiek Bawazier, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian dalam salah satu seri diskusi.
Untuk meningkatkan minat masyarakat, Kemenperin telah mengusulkan sejumlah insentif fiskal kepada Kementerian Keuangan, mulai dari diskon Pajak Penghasilan (PPh) produsen mobil listrik, sampai keringanan bea masuk bagi komponen yang masih diimpor. Sementara bagi konsumen, Kemenperin juga mengusulkan diberikannya diskon pajak 0 persen untuk pembelian mobil listrik. Namun, sampai saat ini usulan tersebut belum disetujui.
Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, insentif diperlukan karena pandemi Covid-19 telah menekan produktivitas pelaku industri dan daya beli masyarakat.
"Pigovian taxes bisa menjadi salah satu alat untuk mengkoreksi pasar dan memperbaiki kegagalan pasar. Efisiensi pasar tidak akan terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu kebijakan yang mengaturnya. Intervensi pemerintah digunakan untuk memberikan insentif dan disentif guna mencegah kegagalan pasar tersebut," katanya.
Hal senada disampaikan Riyanto, Peneliti LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Dia mengatakan, tanpa insentif maka tidak akan ada permintaan mobil listrik di Indonesia. "Kalaupun ada, jumlahnya akan sangat kecil," ujarnya.
4. Proses transisi membutuhkan mobil hybrid
Untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap mobil listrik, dibutuhkan proses edukasi dan sosialisasi. Nissan Indonesia dalam surveinya menemukan, masih banyak pemilik kendaraan yang mempertanyakan faktor keamanan dari baterai mobil listrik terhadap guncangan dan rendaman banjir. Selain itu banyak yang waswas kehabisan daya listrik saat berkendara.
Sebab itu, salah satu strategi dalam membangun permintaan pasar domestik untuk mobil listrik adalah pengenalan melalui transisi dengan kendaraan hybrid menggunakan motor listrik sebagai penggerak satu-satunya roda kendaraan, seperti dilakukan Nissan melalui teknologi e-Power.
5. Pastikan kesiapan IKM pendukung
Forwot dan Forwin mendorong pemerintah agar dapat memastikan kesiapan industri pendukung khususnya skala kecil menengah (IKM) sehingga tetap dapat berkontribusi di era kendaraan listrik. Gaikindo mencatat saat ini kapasitas produksi terpasang industri otomotif nasional mencapai 2,4 juta unit per tahun, sementara utilisasinya baru 54 persen atau 1,3 juta unit per tahun.
Gaikindo memperkirakan ada penyerapan 1,5 juta tenaga kerja di sektor hulu sampai hilir industri otomotif dan pendukungnya yang umumnya IKM. Untuk itu, dibutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah, sehingga industri otomotif nasional bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja dengan bertambahnya utilisasi.
6. Transparansi kuota impor CBU mobil listrik dan Hybrid
Forwot dan Forwin mendorong transparansi kebijakan kuota impor mobil listrik dan hybrid CBU dari pemerintah. Ini diharapkan bisa memberi peluang adil bagi semua pemain mobil listrik dalam negeri, serta tercipta persaingan usaha yang sehat dan memberi manfaat besar bagi konsumen.
7. Gencarkan edukasi masyarakat
Industri otomotif dan regulator diharapkan lebih gencar memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai mobil listrik dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial budaya, teknologi, kesehatan, maupun lingkungan hidup.
Industri otomotif dan regulator diharapkan lebih gencar memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai mobil listrik dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial budaya, teknologi, kesehatan, maupun lingkungan hidup.
Sepeda Motor Listrik Lebih Siap
Seperti dikatehui, salah satu penghambat perkembangan kendaraan listrik di Indonesia adalah harga masih mahal dan stasiun pengisian daya masih minim. Bila dibandingkan sepeda motor dengan mobil listrik mana yang lebih siap? Sepeda motor listrik lebih siap.
Saat ini, terdapat 15 industri perakitan sepeda motor listrik yang sudah mendapatkan Nomor Identifikasi Kendaraan (NIK) dari Kementerian Perindusrian (Kemenperin). Pemerintah pun didorong untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di segmen roda dua. Apalagi pengguna sepeda motor lebih banyak yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat.
Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Riyanto melihat rentang harga antara motor bensin dengan sepada motor listrik tidak telalu jauh. Sebaliknya, dibandingkan di segmen roda empat harganya paling murah di atas Rp400 juta hingga miliaran rupiah.
"Saya kira bicara kesiapan dalam implementasi kendaraan listrik, sepeda moto lebih siap. Rentanga haraganya tidak telalu jauh dengan sepeda motor konvensional," ujarnya, dalam webinar dengan Fowot dan Forwin.
Terkait baterai, lanjut dia, sepeda motor bisa menggunakan sistem isi ulang (swap). Jadi ketika infrastruktur stasiun pengisian baterai masih minim, sistem ini bisa menjadi solusi.
"Jika pemerintah ingin mendorong kendaraan listrik, penetrasi sepeda motor bisa lebih awal. Misal bagi konsumen yang membeli atau menukar dengan motor lisrik bisa mendapat subsidi," katanya.
Di segmen roda empat, lanjut dia, saat ini rentang harga mobil listrik dengan mobil konvensional (ICE) sangat jauh. "Mobil listrik paling murah di atas Rp400 juta. Terbaru ada Toyota Corolla HEV, Nissan Kicks dan Hyundai Ionix," ujar Riyanto.
Dia menyebutkan melihat rentang harga yang jauh mahal menjadikan mobil listrik hanya bisa dibeli kalangan menengah atas. Secara fungsional ini menjadi gaya hidup mereka memiliki koleksi mobil listrik.
Editor: Dani M Dahwilani