Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aksi Artificial Intelligence Memerangi Korupsi
Advertisement . Scroll to see content

Aksi Artificial Intelligence Memerangi Korupsi

Senin, 22 September 2025 - 19:09:00 WIB
Aksi Artificial Intelligence Memerangi Korupsi
Baca Berita

Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org

MENYELENGGARAKAN sebagian tugas pemerintahan dengan memanfaatkan sistem digital yang menggantikan peran manusia bukan perkara baru. Seiring pengembangannya, sistem ini makin luas digunakan lantaran efisiensi, kecepatan maupun ketahanan kerjanya yang sering lebih unggul dari manusia. 

Mulai dari pengadaan pemerintah, permintaan SIM, layanan imigrasi, hingga informasi destinasi wisata, mengalami transformasi digital. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Brasil, China, Estonia, Inggris, India, Irlandia, Kenya, Malaysia, Rwanda Singapura, dan tak ketinggalan Indonesia, telah menggunakan sistem terdigitalisasi untuk memenuhi berbagai keperluannya, termasuk pengadaan. 

Pada digitalisasi pengadaan tujuannya jelas, percepatan proses dan transparansi. Sistem yang terdigitalisasi, mampu membaca ribuan dokumen dalam waktu singkat yang akan lama jika dilakukan manusia. Yang terpenting dari itu, tercapainya transparansi. Transparansi terjadi, sejak syarat sebagai pemasok ditetapkan, indikatornya jelas dan keputusannya dapat diakses semua peserta lelang. Ruang-ruang subjektivitas akibat kedekatan calon pemasok dengan penyelenggara pemilihan maupun dipilih karena menyuap, dieliminasi oleh sistem. 

Seluruhnya ini, sebenarnya telah lama jadi bagian dari penyelenggaraan pemerintahan di dunia. Namun, jadi menarik ketika sistem itu berbasis artificial intelligence (AI) sekaligus dirupakan sebagai manusia virtual.  Albania pada 11 September 2025 mengumumkan Diella, robot AI, sebagai salah satu pejabat pemerintahannya. Ini menjadi yang pertama di dunia. Langkah serupa sebelumnya dilakukan China pada awal September 2025 dengan mengangkat sistem berbasis AI menjadi menteri penuh di negara itu. Memang tak dirupakan sebagai manusia virtual. 

Robot AI Albania yang arti namanya matahari, ditampilkan sebagai perempuan berpakaian khas negaranya, menjabat menteri pengadaan. Kementeriannya dikenal sebagai sarang korupsi. Negara berpenduduk kurang dari 3 juta orang itu, memang digerogoti korupsi yang parah. Keparahan yang bahkan mencegahnya bergabung sebagai negara Uni Eropa (UE). Dengan berharap menyembuhkan penyakit memalukan itu, Diella dipekerjakan. 

Dalam tulisannya, "Using Bits and Bytes to Fight Corruption", Amit Roy Choudhury, 2025, menyebut: Diella bertugas menangani semua keputusan pengadaan pemerintah dan memastikan 100% proses itu dipahami. Kemunculan robot menteri itu tak tiba-tiba. Badan Masyarakat Informasi Nasional Albania telah membangunnya sejak Januari 2025, berdasar model Azure OpenAI dan Microsoft AI. Keberadaannya memungkinkan warga Albania memperoleh layanan pemerintah secara digital. Targetnya, seluruh keputusan tender yang biasa dilakukan masing-masing kementerian diambil alih robot AI itu. Diella dapat mempekerjakan talenta digital dari seluruh dunia untuk mendukung pekerjaannya.

Keputusan Pemerintah Albania mengubah fantasi futuristik jadi nyata. Agen nonmanusia bekerja, berinteraksi, bahkan pada suatu saat beradu argumentasi dengan manusia. Lebih mengagumkan lagi, manusia yang selama ini jadi penentu keputusan akhir tak menduduki posisi itu. Era posthuman diwujudkan Diella. 

Robot AI yang diharapkan memberantas korupsi, mengawali kerjanya setelah input data. Data berupa syarat teknis maupun administratif, untuk menjadi pemasok terpilih. Terhadap data itu, machine learning mempelajari seluruhnya dan membangun algoritma yang mengategori kelayakan pemasok. Saat proses dijalankan lebih lanjut oleh deep learning, robot AI dapat memetakan peluang terjadinya kegagalan pasokan oleh peserta lelang terpilih. AI dengan data-data kaya yang tersedia, mampu membangun wawasan tak terduga yang ketika mengandalkan manusia, tak terjangkau.  

Mengikuti uraian itu, titik-titik rawan subjektivitas dapat dikenali dan dieliminasi. Subjektivitas penilaian akibat suap yang memengaruhi pengambilan keputusan juga akibat nepotisme yang dapat mengubah keputusan. Seluruh subjektivitas yang memfasilitasi terjadinya korupsi. Jadi lain keadaannya, ketika proses-proses yang rawan subjektivitas dilakukan robot AI. Robot AI menyusun keputusan, hanya berdasar data yang telah diinput pada sistem. Ini tampaknya yang menjadi tujuan Pemerintah Albania, eliminasi subjektivitas demi hilangnya korupsi. 

Utopia pemberantasan korupsi yang mengandalkan robot AI jadi niscaya. Utamanya saat akar masalahnya adalah subjektivitas manusia. Namun menjadi tak tercapai, ketika mempertimbangkan AI blackbox. Fenomena ini adalah keadaan-keadaan yang tak selalu dipahami saat menggunakan AI, tak dipahami penggunanya, juga oleh cerdik pandai yang mengembangkan AI. Keadaan yang tampaknya lebih tepat disebut misteri AI. Baru terungkap saat ada keganjilan. Itu penjelasannya tak memberi kepastian. Baru ketika peluang-peluang teoritisnya dipetakan, kebolehjadiannya dapat diperkirakan. Tingkatannya pun diperkirakan, belum dipastikan. 

Salah satu contohnya bias. Bias pada AI tak selalu dapat dilacak. Saat Amazon mengandalkan AI untuk melakukan penerimaan pegawainya, dicurigai terjadi bias. Bias terendus, saat penanggung jawab memeriksa komposisi pegawai yang diterima, lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Sementara Amazon tak berniat melakukan diskriminasi gender. Melihat kejanggalan itu, dilakukan pemeriksaan data yang diproses machine learning. Hasilnya, ada data yang ketika terbaca oleh perangkat, salah satu gender dianggap lebih cocok mengisi posisi itu. Misalnya data "pekerjaan berkaitan dengan penggunaan perangkat teknologi tinggi". Di sini perangkat AI seakan diperintah, mencari laki-laki dibanding perempuan. 

Pada robot AI antikorupsi, bias itu juga dapat terjadi. Manakala panitia lelang menggunakan data pemasok-pemasok yang telah dianggap mampu oleh pemerintah, bisa jadi justru berisi pemasok-pemasok yang menyuap atau nepotisme dengan panitia lelang. Data ini bias. Dengan prinsip "data buruk yang masuk, buruk pula hasilnya", penggunaan robot AI tak mampu mencegah keburukan. Alih-alih sistem menghasilkan pemasok yang bebas korupsi, sistem tak bisa membebaskan dirinya dari bias yang tak disadari. 

Persoalan AI blackbox lainnya,  transparansi. Pemilihan pemasok yang hendak menjamin transparansi, kadang sulit dipenuhi sistem berbasis AI. Tak semua keputusan yang dihasilkannya dapat dipahami. Saat AI digunakan di Inggris untuk menentukan hukuman bagi residivis agar proses pengadilannya lebih mudah, cepat dan murah, justru sulit dinilai transparansinya. Pada penjahat kambuhan yang dalam wawancaranya berniat menjadikan kejahatan yang menyebabkannya tertangkap, terakhir kalinya justru dijatuhi hukuman yang jauh lebih berat, dibanding penjahat yang tak menunjukkan niat lebih baik.

Sistem AI tak mampu menilai niat. Tapi apa dasar hukuman lebih berat yang dijatuhkan itu, juga tak dapat dijawab oleh pegawai pengadilan. Banding yang diajukan sang residivis, justru memperkuat keputusan yang diberikan sistem berbasis AI. Transparansi penetapan hukuman gagal. 

Keadaan di atas dapat dijelaskan, AI mempertimbangkan keputusannya secara kompleks. Bahkan variabelnya tak terduga. Deep learning yang belum sepenuhnya dipahami cara kerjanya, dapat menghasilkan wawasan-wawasan baru yang terbentuk oleh keadaan kuantitatif data. Brand processor komputer yang digunakan peserta lelang ketika mengirimkan dokumen pendaftaran, dapat dikuantifikasi dengan brand sejenis terhadap peluangnya menyelesaikan pekerjaan pemasokan. Tentu panitia lelang tak dapat menjelaskan variabel "brand processor" ini, sebagai penduga kinerja pemasok. Namun, robot AI mempertimbangkan itu. Karenanya, bakal muncul adanya peserta lelang yang tampak memenuhi semua persyaratan sebagai pemasok tapi ditolak. 

Sebaliknya yang tak terlalu unggul memenuhi persyaratan, justru diterima. Terhadap keputusan semacam ini, panitia tak selalu mampu menjelaskan. Prinsip transparansi gagal dipenuhi dalam proses pengadaan menggunakan robot AI. Namun, dengan dua kemungkinan AI blackbox di atas, tak seharusnya Pemerintah Albania maupun negara lain di dunia, yang berniat memberantas korupsi pada aktivitas pengadaan, menyurutkan langkah. 

Penggunaan robot AI untuk memberantas korupsi adalah pemutus lingkaran setan penanganannya yang tak berujung. Ini senada dengan ungkapan berbagai media yang dikumpulkan Kristi Ceta, 2025, dalam "Diella, The First Minister Created by AI - How does The World Media React to Albania's Virtual Official?". Reuters menulis, menteri baru ini bertanggung jawab atas pengadaan publik dan tak lemah terhadap suap, ancaman, atau upaya memengaruhi pengambilan keputusan. Ini karena Diella adalah robot yang diciptakan dengan kecerdasan buatan.

Demikian pula The Guardian yang menyebut Albania menunjuk 'menteri' yang diciptakan dari AI untuk memimpin pengadaan publik. Keputusannya merupakan transformasi dalam menjalankan kekuasaan administratif. Teknologi tak sekadar alat, tetapi peserta aktif dalam tata kelola pemerintahan.

Lalu bagaimana dengan kelemahan AI yang mengadang? Tetap melibatkan manusia sebagai pendamping. Diella tak seharusnya dibiarkan bekerja sendiri. Harus ada pertimbangan yang juga diberikan manusia. Apakah ini artinya membuka kembali pintu subjektivitas? Ini soal porsi saja, tinggal diatur berapa persen pertimbangan robot AI dan berapa persen pertimbangan manusia hingga tercapai keputusan finalnya.

Di sini, peran manusia masih penting. Yang disingkirkan hanya korupsinya.

Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut