Dapatkah Rasionalitas Berpikir Bertahan di Zaman Artificial Intelligence?
Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
ADA yang menyedihkan sekaligus membingungkan khalayak media sosial dalam dua pekan pertama di bulan Oktober ini. Kedua-duanya terjadi di lingkungan pendidikan.
Peristiwa pertama terjadi pada 10 Oktober, saat Kepala SMAN 1 Cimarga, Lebak-Banten berinisial DF menampar ILP, siswa kelas XII di sekolah yang dipimpinnya. Penamparan dipicu kegeraman DF lantaran di tengah kegiatan Jumat Bersih, alih-alih bekerja bakti bersama teman-temannya, ILP malah terlihat merokok di kantin sekolah. Penegakan disiplin berujung tindakan kekerasan tak terhindarkan. Ini memicu mogok belajar para siswa memprotes kekerasan.
Saat narasi tentang kekerasan itu beredar di media sosial, suasana memanas. Netizen gencar berkomentar. Di satu sisi, tak menoleransi kekerasan yang dilakukan sang kepala sekolah. Sedangkan di sisi hadapannya, menilai siswa merokok di lingkungan sekolah bukan perilaku yang patut. Kepala sekolah dibenarkan menegur perilaku tak patut itu.
Peristiwa yang kedua, saat Timothy Anugrah Saputra, mahasiswa FISIP semester VII Universitas Udayana Bali, meninggal dunia pada Rabu, 15 Oktober 2025. Berdasarkan informasi yang mengemuka di berbagai media konvensional maupun media sosial, meninggalnya mahasiswa ini, diduga akibat bunuh diri. Caranya, dengan melompat dari ketinggian gedung, tempat berkuliahnya selama ini.
Ada beberapa kesimpangsiuran mengiringi meninggalnya Timothy. Pertama, menyangkut tempat Timothy mengakhiri hidupnya. Pihak kampus menyebut awalnya menduga ia melompat dari lantai 2, sedangkan juru bicara Kepolisian menyebut melompat dari lantai 4.
Simpang siur kedua soal penyebab Timothy bunuh diri. Sebagian perbincangan di media sosial menduga dia bunuh diri dipicu perundungan yang dialami saat kuliah. Dugaan ini diperkuat ibunya yang sempat menemani Timothy beberapa saat kuliah di Bali, lantaran ada perubahan perilaku yang mengkhawatirkannya. Namun kampus menampik dan menyebut perundungan baru terjadi setelah berita kematiannya beredar. Dasarnya, ditemukan perbincangan di WhatsApp Group (WAG) berisi candaan bernada perundungan terkait kematian yang menyedihkan itu.
Terhadap ketakpatutan itu, kampus menindak pelakunya. Enam mahasiswa yang terlibat dijatuhi sanksi akademik dan permintaan maaf kepada keluarga maupun khalayak.
Percapakan WAG dijadikan bukti oleh kelompok yang berteori Timothy bunuh diri akibat perundungan dan perundungan sudah lama terjadi di Kampus Universitas Udayana. Perbicangan WAG adalah puncaknya, bahkan orang meninggal pun jadi bahan candaan. Sedangkan pihak kampus menjadikan perbincangan di WAG itu sebagai petunjuk peristiwa yang sebaliknya. Akibat kesimpangsiuran itu, polisi maupun tim investigasi kampus menyelidiki lebih lanjut.
Kedua peristiwa di atas menyedihkan sekaligus membingungkan. Menyedihkan lantaran peristiwa terjadi di lembaga pendidikan, tempat yang diharapkan sebagai persemaian manusia yang berperilaku patut selain tentunya punya akal pikiran yang berisi pengetahuan. Namun disebut membingungkan, akibat khalayak tak jelas harus bersikap apa. Ini tampak dari polarisasi komentar yang tak jelas orientasinya. Muncul pertanyaan, masih dapatkah warga digital di tengah zaman derasnya informasi berpikir rasional?
Pertanyaannya memang ditujukan kepada warga digital. Lantaran, telah dialaminya perubahan cara berpikir yang sangat mendasar. Ini dibandingkan saat warga yang diimbuhi kata digital itu belum terpengaruh oleh logika digital. Apa perubahan cara berpikir yang sangat mendasar itu? Perubahan akibat tergerusnya cara berpikir yang rasional.
Manasi Bandal, 2023, dalam “Rational Thinking: The Key to Making Better Decisions and Solving Problems”, menyebut berpikir rasional merupakan proses penggunaan logika dan akal sehat untuk mengevaluasi informasi dan membuat keputusan. Keputusan dalam bersikap tentunya. Berdasarkan prosesnya, dirangkum sebagai cara berpikir yang sistematis dan objektif, yang didasarkan pada fakta dan bukti, alih-alih bercampur emosi maupun bias.
Di masa sebelumnya, Rohan Parikh, 2021 dalam “Rational Thinking – a Skill for Young Minds”, menyebut hal yang senada. Menurutnya, berpikir rasional adalah sebuah proses yang mengacu pada kemampuan yang didasari nalar. Proses ini mencakup kemampuan untuk menarik kesimpulan yang masuk akal, dari fakta, logika, dan data.
Lalu apa yang menyebabkan tergerusnya rasionalitas yang dikaitkan dengan media sosial? Akibat terbentuknya logika biner merembes dari cara perangkat digital beroperasi dari sistem biner. Sistem yang mendasari komputasi digital, terdiri dari dua nilai, 0 dan 1. Sedangkan relasi di antara keduanya, sebagai pilihan 0 atau 1 yang mutlak. Bukan 0 dan 1, alih-alih antara 0 dan 1. Sistem biner ini menyebabkan perangkat lunak dapat menggerakkan perangkas keras teknologi digital. Kombinasi pilihan binernya menjadi dasar operasinya.
Sementara alam semesta yang penuh nuansa, tak mutlak sebatas dua piilihan itu. Maka ketika hendak direpresentasikan ke dalam teknologi digital, harus diubah menjadi kode biner agar dapat dioperasikan dan memberi respons dalam waktu yang sangat singkat. Dan makin cepat saat didukung riwayat pengambilan keputusan sebelumnya, yang disebut algoritma. Maka dapat disebut: sistem biner, pada berbagai perangkat teknologi di kehidupan sehari-hari, merupakan cara perangkat, menyerap kealmiahan alam semesta, sebagai kode matematis. Karena perangkat operasinya berbasis 2 pilihan di-gital maka teknologinya disebut sebagai teknologi digital.
Alam semesta maupun nuansa kemanusiaan di atasnya memenuhi sistem biner, harus diubah dalam relasi dikotomis. Hitam atau putih, lemah atau kuat, lawan atau kawan, musnahkan atau kembangkan. Seluruhnya, agar dapat dikodekan sebagai 0 atau 1, dan dijadikan sebagai pilihan. Terjadi simplikasi penyederhanaan radikal, pada nuansa yang penuh kemungkinan. Mengikuti sistem biner yang mengoperasikan perangkat, pengguna perangkat digital juga dipaksa melakukan penyederhanaan kekayaan nuansa ke dalam logika biner.
Aletheia Hitz, 2024, dalam “Nuance in SocialMedia? What We Are Losing in the Binary”, mengonfirmasi fenomena itu. Ia menyebut, di media sosial interaksi sering kali terbatas pada "ya" atau "tidak", menyukai atau tidak menyukai sebuah komentar, mendukung atau mengabaikan sebuah unggahan. Mengutip penyataan Josh Burns, Hitz menegaskan, di media sosial, masukan bersifat biner. Sepenuhnya menyukai sesuatu atau tidak, sepenuhnya membagikan sesuatu atau tidak. Masalahnya, sering kali tidak dapat memutlakkan sikap pada suatu hal namun tak ditemukan pernyataannya. Padahal, elemen penting pernyataan itu, jika tidak ditemukan, dapat merusak hubungan, menyebabkan ambigunya wacana, dan mendorong generalisasi yang terburu-buru.
Itulah yang terjadi pada dua peristiwa di lingkungan pendidikan di atas, penyederhanaan radikal pada peristiwa yang penuh kemungkinan. Pada kasus penamparan siswa di Cimarga, warga digital dihadapkan pada pilihan ekstem “menolak” tindakan kekerasan pendidik pada siswa, apa pun alasannya. Yang berhadapan dengan “menerima” tindakan pendisiplinan siswa, yang melakukan tindakan tak patut, termasuk jika harus dengan tindakan kekerasan. Pilihannya hanya itu dan harus cepat disikapi. Tampak di media sosial, hanya punya dua kemungkinan. Bahwa ada guru yang bercerita sang kepala sekolah memang mudah marah bukan hanya kepada siswanya, namun juga pada guru-guru yang dipimpinnya. Bahwa mungkin, para siswa telah berkali-kali diperingatkan untuk menjaga kepatutan perilaku namun tak diperhatikan. Kemungkinan-kemungkinan itu, tak turut dalam rasionalitas pertimbangan memilih sikap yang tepat. Pilihannya hanya pada kemungkinan, yang paling cepat diterima akal.
Demikian juga dengan bunuh dirinya mahasiswa. Percakapan-percakapan dikotomis tanpa bukti yang layak, dan itu pun sebatas yang beredar di media sosial, jadi bahan pembentukan sikap. Sedangkan yang beredar itu telah mengalami penyederhanaan radikal. Yang paling cepat diterima akal, bunuh dirinya Timothy dipicu oleh tradisi perundungan yang telah membudaya di lingkungan kampus itu. Walaupun kemungkinan ini harus ditinjau dengan serius, namun bukti percakapan WAG itu telah dieksploitasi untuk menjadi jembatan paling sederhana menemukan penyebab bunuh diri. Kemungkinan-kemungkinan rasional penuh nuansa lainnya, diabaikan.
Maka, bagaimana keadaan minimnya rasionalitas media sosial ini di zaman artificial inteligence (AI)? Makin menggelisahkan. Berbagai konten, teks, gambar, video maupun formulasi deepfake, dengan mudah diproduksi mengandalkan algoritma. Juga distribusinya melalui platform yang tepat, mengikuti petunjuk algoritma. Jika sudah seperti ini, bukankah pembentukan sikap hanya dilandasi pikiran yang dipabrikasi teknologi digital? Rasionalitas hakiki khalayak telah mati lantaran prosesnya telah diambil alih mesin cerdas.