"Efek Kupu-Kupu" Artificial Intelligence pada Nasib Peradaban
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
CUKUP dengan satu kepakan sayap kupu-kupu, tornado yang meluluhlantakkan sebuah wilayah akan terjadi. Tanpa gerakan sayap sebelahnya, wilayah yang berdekatan bisa tak mengalami perubahan. Ekstremnya perbedaan, bisa terjadi akibat ada atau tiadanya penyebab kecil. Ini merupakan penjelasan dari chaos theory, teori kekacauan. Perubahannya yang besar, tersohor disebut butterfly effect. Seluruhnya diformulasi Edward Lorenz, pada tahun 1961.
Saat itu, Lorenz merancang model cuaca untuk menanggapi ahli statistik cuaca yang berpendapat: prediksi cuaca di masa datang, seharusnya dapat disusun berdasar catatan sejarah yang ada. Caranya melihat yang terjadi, saat suatu kondisi identik dengan keadaan lainnya. Sikap skeptis yang diwujudkan dengan menyusun model berbasis program komputer, untuk menguji berbagai simulasi cuaca. Didapatkan bahwa jika ada dua titik awal yang berdekatan yang menggambarkan keadaan cuaca terkini dan dibandingkan, keduanya akan segera menjauh. Satu wilayah akan dilanda badai hebat, sementara wilayah lainnya tenang.
Hasil itu ditemukan, saat dilakukan pembulatan untuk menghemat pencetakan hasil penulisan variabel dari 0,506127 menjadi 0,506. Ternyata pembulatan berselisih 1/1000 itu, mengubah prediksi cuaca selama dua bulan simulasi, secara dramatis. Artinya, perubahan sangat kecil pun membawa perubahan yang besar. Sensitivitas luar biasa dari kondisi awalnya, ibarat seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya di Brasil, namun memicu tornado di Texas.
Karenanya, prakiraan cuaca jangka panjang hampir mustahil. Kompleksitas alam yang luar biasa, tak akan mampu diukur manusia. Terlalu banyak variabel kecil, yang turut menentukan. Ini berkonsekuensi jauh lebih besar: prakiraan cuaca terbaik dunia pun akhirnya bersifat spekulatif. Inilah paradoks kekacauan.
Edward Lorenz, guru besar bidang meteorologi Institut Teknologi Massachusetts, kemudian menandaskan hasil pemodelannya kurang lebih: kompleksitas alam yang tak terhitung jumlahnya, berarti kepakan sayap kupu-kupu yang dapat menyebabkan tornado. Juga sebaliknya: kompleksitasnya yang diketahui, dapat digunakan untuk mencegahnya. Membuat perubahan sekecil apa pun pada alam membawa akibat yang tak akan pernah diketahui. Perubahan selanjutnya terlalu rumit dan rumit pula mengembalikannya pada keadaan semula. Rangkaian penjelasan di atas dikutip dari "What Is the Butterfly Effect and How Do We Misunderstand It?", ditulis Nathan Chandler, 2023. Juga bersumber dari catatan Advancing Physics, 2003, berjudul "This Month in Physics History, Circa January 1961: Lorenz and the Butterfly Effect"
Tak hendak berpanjang lebar membahas butterfly effect dalam kaitan dengan keadaan cuaca, maupun pengaruhnya di alam semesta. Butterfly effect akibat introduksi artificial intelligence (AI) pada peradaban, menarik dipikirkan. Sifatnya tak pasti, kompleks dan acak. Peradaban didominasi faktor sosial yang tak terprediksi, perubahannya sulit diprakirakan. Butterfly effect yang dikaitkan dengan AI ini, perspektifnya dapat dilihat dari dua arah. Dari arah AI itu sendiri sebagai efek kupu-kupu dan arah efek kupu-kupu yang ditimbulkan AI.
Artefak budaya yang akarnya teknologi komputasi ini, yang pengembangannya marak di tahun 1940-an, dengan Alan Turing sebagai tokoh sentralnya, dikembangkan sebagai sistem yang mampu meniru kecerdasan manusia: belajar, memahami, memprediksi, juga merekomendasikan keputusan. Penyebutannya sebagai artificial intelligence, pertama kali termuat pada proposal yang ditulis John McCarthy, untuk konferensi di Dartmouth musim panas, tahun 1956. Terdapat 3 hal yang berefek besar, penyebab lompatannya. Masing-masing adalah: next-generation computing architecture, access to historical datasets dan advances in deep neural networks. Ketiga hal ini, dikemukakan Janakiram MSV, 2018, dalam "Here Are Three Factors That Accelerate the Rise of Artificial Intelligence".
Faktor pertama adalah arsitektur komputasi generasi mendatang. Pada faktor pertama ini, Janakiram menyebut 3 hal mikro yang mendorong perubahan. Yaitu, GPU yang semula bagian PC gaming dan workstation kelas atas, berperan memungkinkan proses pelatihan machine learning (ML). Berikutnya, Field Programmable Gate Array (FPGA) prosesor yang dapat diprogram dan disesuaikan untuk beban kerja tertentu. Ini juga berperan dalam pelatihan model ML. Yang terakhir, server bare metal untuk menjalankan pekerjaan komputasi berkinerja tinggi di cloud.
Adapun faktor keduanya, akses ke kumpulan data historis. Semula biaya penyimpanan dan akses data mahal. Dengan adanya cloud, akses data yang sebelumnya terbatas dapat leluasa dilakukan dan berbiaya murah. Kumpulan data historis yang besar ini, diperlukan untuk melatih model ML yang dapat akurat memprediksi. Model ML yang dihasilkan, berbanding lurus dengan kualitas dan ukuran datanya. Data berlimpah dengan perangkat komputasi berkinerja tinggi, mengembangkan AI ke generasi berikutnya.
Sedangkan faktor ketiga adalah kemajuan dalam jaringan saraf dalam. Artificial Neural Network (ANN) menggantikan model Traditional Machine Learning (TML), untuk mengembangkan model yang presisi dan akurat. Beberapa kemajuan terbaru dalam visi komputer, merevolusi pemrosesan gambar. Teknik ML yang berkembang, mengubah cara pelatihan dan penerapan model secara fundamental. Ini menghasilkan model yang dapat memprediksi secara akurat, bahkan ketika dilatih dengan data terbatas.
Ketiga faktor di atas senada dikonfirmasi Shion, 2025, dalam "What are the Factors Affecting the Growth of Artificial Intelligence?". Juga Sergey Pomytkin, 2025, dalam "What Factors Will Drive AI Revolution in Next Few Years: Models/algorithms, Hardware Optimization, Architecture and interoperability?" Terdapat keterkaitan tiga faktor di atas, menciptakan efek kupu-kupu pada AI lewat pelipatgandaan kemampuan ML-nya. Berlipatgandanya kapasitas perangkat ML ini, merevolusi kemampuan belajar yang mengubah total wajah AI. Ini dibanding pengembangan awalnya.
Sedangkan efek kupu-kupu yang disebabkan AI, terkemuka dalam "The AI Butterfly Effect: The Force Multiplier That’s Reshaping Customer Service", yang ditulis Michele Carlson, 2025. Pada tulisan itu Carlson menyebut, yang terjadi bukan hanya pergeseran teknologi, melainkan penggandaan kekuatan. Kehadirannya menyebabkan definisi baru cara berbisnis, maupun interaksi bisnis dengan pelanggan. Efek kupu-kupu kompleks yang dipicu oleh inovasi kecil, mendorong transformasi besar-besaran di seluruh industri. Reaksinya berantai, menghadirkan era modernisasi dan kemajuan mutakhir di berbagai industri.
Di sisi hadapannya perubahan yang menguntungkan, muncul persoalan yang berkaitan dengan data. Faktor bias misalnya, menjadi hal yang tak terhindarkan. Ini memengaruhi pembentukan algoritma pembangun kecerdasan, yang bisa menyebabkan terjadinya diskriminasi, tindakan tak tepat maupun melesetnya rekomendasi.
Diskriminasi perlakuan berperspektif gender, warna kulit maupun status, dapat terjadi akibat ketaksadaran input data. Data yang terinput: laki-laki terbaca berprofesi di ruang publik: CEO, personal angkatan bersenjata maupun penegak hukum. Ini membiaskan perempuan, yang serta-merta dianggap tak cakap di bidang-bidang itu. Seluruhnya lantaran data perempuan pada bidang profesi ruang publik minim. Sedangkan tindakan tak tepat, dapat terjadi pada pengobatan kanker yang deteksinya menggunakan sensor. Perangkat yang bekerja, berdasar data dari pasien dari Eropa, sementara pasien yang didiagnosis berasal dari Asia. Perbedaan warna kulit, membiaskan tampilan gejala penyakit. Kanker berstadium akhir pasien Asia terbaca sebagai berstadium awal.
Biasnya terjadi, akibat sensor mengolah data tampilan kanker pasien Eropa. Tindakan pengobatannya jadi salah. Dan rekomendasi yang salah, dapat terjadi akibat diberikan oleh kecerdasan yang dibentuk oleh kumpulan data historis Rekomendasi bekerja post factum, tak pernah terbentuk dari data luar sistem. Membeli atau menjual saham misalnya, keputusannya sangat dipengaruhi data terbaru. Ini sumbernya dari luar sistem. Betapa banyaknya pun data yang diinput pada ML, tak bisa memastikan yang masih di luar sistem. Akibatnya, rekomendasi bisa meleset.
Emilio Ferrara, 2025 dalam "The Butterfly Effect in Artificial Intelligence Systems: Implications for AI Bias and Fairness", mengilustrasikan keadaan di atas: efek kupu-kupu melipatgandakan bias dalam data atau algoritma. Seluruhnya meningkatkan kerentanan. Karenanya, menyadari interaksi yang kompleks dalam sistem AI maupun konsekuensi sosialnya, sangat penting untuk secara ketat meneliti setiap modifikasi dalam algoritma. Juga input data terhadap efek yang tidak diinginkan.
Tersirat dari seluruh uraian di atas, efek kupu-kupu AI menimbulkan harapan baru bagi sempurnanya peradaban juga mampu mewujudkan berbagai harapan kehidupan. Namun ketika terselip bias manusia pengembangnya, bias itu berlanjut tanpa disadari. Bukan saja diskriminasi, tindakan tak tepat, maupun melesetnya rekomendasi yang terjadi, kehidupan yang tak pernah terbayangkan yang harus diterima. Lalu apa istimewanya, jika terancam efek kupu-kupu AI: harus menerima kehidupan yang tak terbayangkan sebagai nasib peradaban?