MUI Terbitkan Fatwa Pajak Berkeadilan, DPR bakal Tanya Purbaya
JAKARTA, iNews.id - Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal merespons soal fatwa baru yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa tersebut mendorong sistem perpajakan yang berkeadilan.
Cucun menyampaikan, DPR akan segera mengonfirmasi kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) apakah sudah menerima masukan lewat fatwa MUI tersebut.
"Terkait fatwa MUI, ya nanti kita lihat juga dan kita akan tanyakan kepada Kementerian Keuangan apakah itu sudah menjadi masukan dari MUI," kata Cucun di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Tak hanya itu, DPR akan meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyampaikan sikap pemerintah terhadap fatwa MUI tersebut.
"Nanti yang jadi pertimbangannya, kita juga akan tanya seperti apa Menteri Keuangan menyikapi fatwa tersebut," ujar legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa bahwa barang kebutuhan dasar masyarakat seperti sembako tak boleh dikenai pajak. Bahkan, MUI mengusulkan, umat yang membayar zakat bisa menjadi pertimbangan untuk dikurangi nilai kewajiban pajaknya.
Fatwa itu diterbitkan dalam Sidang Komisi Fatwa di forum Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI MUI di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (22/11/2025). Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, mengungkapkan, pihaknya telah menyepakati fatwa pajak berkeadilan.
"Pajak berkeadilan, bagaimana hubungan antara rakyat dan penguasa, dalam hal ini pemerintah, itu diikat dalam hubungan timbal balik yang saling menguatkan untuk tujuan perwujudan kemaslahatan. Dan pajak, ditujukan sebagai instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat," kata Asrorun usai sidang.
Dalam sidang itu, Asrorun mengatakan pihaknya telah menerbitkan konsepsi pajak. Pertama, pajak hanya dikenakan pada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial. Kedua, kata dia, objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan, atau merupakan kebutuhan sekunder serta kebutuhan tersier, bukan kebutuhan primer.
Ketiga, kata Asrorun, pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak itu secara syar’i milik rakyat. Adapun pengelolaan pajak diamanahkan kepada pemerintah melalui Ditjen Pajak.
"Yang keempat, barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat itu tidak boleh dibebani pajak secara berulang. Kemudian barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako, itu juga tidak boleh dibebani pajak," kata Asrorun.
"Kemudian bumi dan bangunan yang dihuni, dalam pengertian dia non-komersial, tidak boleh dikenakan pajak berulang. Karena pada hakikatnya dia tidak berkembang," tambahnya.
Kemudian, warga negara wajib menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan.