Tragedi 26 Desember 2004: Tsunami Aceh, Bencana yang Mengubah Sejarah dan Memicu Perdamaian

BANDA ACEH, iNews.id - Pada Minggu pagi yang tenang, 26 Desember 2004, kehidupan masyarakat Aceh tiba-tiba berubah selamanya. Sebuah gempa tektonik berkekuatan magnitudo 9,1 mengguncang wilayah tersebut, memicu bencana maha dahsyat yang dikenal sebagai tsunami Aceh. Gempa, yang merupakan gempa terbesar ketiga dalam sejarah modern, berpusat sekitar 100 km di barat pantai Sumatera dan dirasakan hingga 1.300 km. Getaran yang berlangsung selama 10 menit itu adalah awal dari tragedi yang lebih besar.
Beberapa menit setelah gempa, fenomena aneh terjadi. Air laut surut dengan cepat, menarik perhatian banyak orang. Namun, rasa penasaran itu segera berubah menjadi kengerian. Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh yang disusul oleh gelombang raksasa. Gelombang air laut setinggi hingga 30 meter bergerak dengan kecepatan luar biasa, mencapai 360 km/jam, melaju ke daratan dan menyapu hampir seluruh kawasan pesisir Aceh.
Kekuatan Dahsyat yang Meluluhlantakkan Aceh
Gelombang raksasa itu menggulung semua yang dilewatinya. Kapal-kapal besar, termasuk kapal pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) seberat 2.600 ton, terhempas hingga 5 km ke Kota Banda Aceh. Mobil, pepohonan, dan ratusan bangunan roboh terseret arus deras. Menurut PBB, tsunami Aceh adalah salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern, menewaskan lebih dari 200.000 jiwa. Wilayah seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat menjadi yang paling parah terdampak, dengan desa-desa di pesisir barat seperti Meulaboh dan Calang hampir lenyap. Tercatat 139.000 rumah rusak dengan kerugian mencapai 45 miliar dolar AS atau setara Rp73 triliun.
Dampak gempa dan tsunami ini terjadi akibat tumbukan dua lempeng kontinental, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia, di sepanjang Palung Sunda. Para ahli memperkirakan energi yang dilepaskan setara dengan 1.500 kali bom atom Hiroshima. Bencana ini tidak hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga melumpuhkan perekonomian dan meninggalkan trauma mendalam bagi para korban yang selamat.
Solidaritas Kemanusiaan dan Kisah Haru
Pasca-bencana, gelombang bantuan kemanusiaan dari berbagai negara dan lembaga internasional membanjiri Aceh. Tentara dan relawan, baik nasional maupun asing, bergerak cepat membantu proses evakuasi dan pemulasaran jenazah. Bantuan kemanusiaan datang dari seluruh dunia, termasuk dari Amerika Serikat yang mengirimkan kapal induk Abraham Lincoln. Di tengah sulitnya akses darat, pengusaha Susi Pudjiastuti, dengan uang pribadi Rp400 juta, menerjunkan pesawat Cessna miliknya untuk mendistribusikan bantuan ke daerah-daerah terpencil. Kisah kemanusiaan ini menjadi cikal bakal berdirinya Susi Air.
Selain itu, dunia juga tersentuh oleh kisah Martunis, bocah 7 tahun yang ditemukan selamat setelah terombang-ambing selama tiga pekan. Ia ditemukan mengenakan jersey timnas Portugal bernomor punggung 10. Kisah ini menarik perhatian pesepakbola Cristiano Ronaldo, yang kemudian mengangkat Martunis sebagai anak asuhnya dan membawanya ke Portugal.
Bencana sebagai Katalis Perdamaian
Tsunami 2004 tidak hanya meninggalkan luka, tetapi juga menjadi katalis penting yang mendorong perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Kedua belah pihak menyadari bahwa mereka sama-sama kehilangan orang dan aset akibat bencana. Melalui perantara pengusaha Finlandia, Juha Christensen, perundingan damai dimulai di Helsinki pada awal 2005.
Negosiasi yang difasilitasi oleh Presiden Finlandia Martti Ahtisaari itu membuahkan hasil dengan ditandatanganinya MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan ini mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung hampir tiga dekade, di mana Pemerintah Indonesia sepakat menarik pasukan nonorganik TNI dan memberikan hak bagi rakyat Aceh untuk membentuk partai politik lokal.
Dua dekade telah berlalu, dan Aceh kini telah bangkit. Jejak bencana diabadikan dalam museum sebagai pengingat abadi. Sistem peringatan dini tsunami pun disiapkan untuk mencegah tragedi serupa. Bencana besar ini mengajarkan bahwa meskipun alam bisa begitu dahsyat, solidaritas dan kepedulian antarsesama adalah kekuatan terbesar untuk bangkit kembali.