Urgensi Aturan Perlindungan terhadap Bahaya Artificial Intelligence
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS
JANJI globalisasi yang meniadakan batas antarnegara, sehingga membebaskan pertukaran barang, jasa, investasi maupun manusia, dalam realitasnya tak bebas mutlak. Tiap-tiap negara di dunia, atas nama keamanan, keselamatan, kesehatan, kesejahteraan, identitas budaya, ideologi negara, apa pun lainnya yang lazim disebut kepentingan nasional, membatasi masuknya material maupun substansi dari negara lain. Seluruhnya demi melindungi warga negara.
Pembatasan material misalnya, saat tumbuhan, hewan, maupun manusia yang akan masuk ke suatu negara, dan dikhawatirkan menularkan penyakit, dikenai aturan isolasi maupun karantina. Mengacu pada US Centers for Disease Control and Prevention, CDC.gov, 2024: terdapatnya kewenangan yang mengatur masing-masing negara bagian, mengambil tindakan membatasi masuk dan menyebarnya penyakit menular.
Penegakan aturan itu dimulai di Stasiun Kesehatan Pelabuhan AS. Ini berfungsi sebagai titik pusat pencegahan infeksi yang menjangkiti pelancong dan dapat menyebar sebagai wabah di komunitas tujuan. Istilah karantina, yang asal katanya quaranta, berarti empat puluh, dengan mengutip laman Badan Karantina Indonesia, karantinaindonesia.go.id, awal sejarahnya merupakan periode 40 hari untuk tinggal dan terisolasi di dalam kapal. Masa itu semula ditetapkan oleh penguasa di Venezia dalam mencegah masuk dan merapatnya kapal yang datang dari negara lain. Seluruh tindakannya bertujuan mencegah penjangkitan penyakit menular.
Ketika hari ini aturan itu tetap berlaku, punya tujuan lanjutan: melindungi keanekaragaman hayati serta menghindarkan masuknya hama serta penyakit yang dapat merusak tumbuhan dan hewan di suatu negara. Pada 1960-an contohnya, Indonesia menggalakkan penanaman Vachellia nilotica. Tanaman yang sebelumnya dikenal dengan nama Akasia Duri (Acacia nilotica) ini ditanam untuk membangun sekat bakar, pemisah alami, yang berguna mencegah meluasnya kebakaran hutan.
Dalam waktu beberapa saat, tanaman asing yang berasal dari daerah kering India ini tumbuh subur dan menyebar hingga menutupi tumbuhan lain. Tanpa adanya musuh alami yang menghambat, pertumbuhannya dominan, bahkan menginvasi padang penggembalaan banteng yang ditumbuhi rumput. Rumput adalah sumber pakan penting bagi banteng. Karenanya pada Jambore Nasional 2017, tak kurang dari 300 penggerak konservasi, pelaku jasa wisata, dan masyarakat desa di sekitar hutan Taman Nasional Baluran, mencabuti pohon akasia duri. Ini untuk memulihkan habitat banteng.
Cerita tentang invasi tumbuhan pada salah satu ekosistem di Indonesia ini, dituliskan Fransisca N Tirtaningtyas, 2019, pada “Tanpa Musuh Alami, Tumbuhan Asing Invasif akan Sulit Diatasi”.
Ketika uraian di atas dikemukakan sebagai rangkaian peristiwa di alam semesta: relasi tumbuhan, hewan dan manusia pada habitatnya, membentuk suatu sistem. Ini lazim disebut sebagai ekosistem, lantaran relasi dan peran khas masing-masing komponennya: produsen, konsumen dan pengurai, mendistribusikan energi di dalam sistem. Ketika ekosistem itu dimasuki komponen baru yang belum terlibat relasi, tumbuhan, hewan atau pengganggu tertentu yang dapat terbawa oleh manusia, keseimbangan yang sudah terbentuk berubah, bahkan rusak.
Ini termasuk ketika ada komponen yang berperan sebagai hama: pengonsumsi energi berlebihan, yang mematikan komponen ekosistem lainnya. Untuk tujuan itulah, ditetapkan aturan isolasi maupun karantina sebelum suatu material masuk ke sebuah negara.
Pada unsur dari luar negara yang sifatnya material, pengaturannya jelas. Ini dibanding unsur yang immaterial, sebagai substansi abstrak. Pelaksanaannya kompleks, namun demi melindungi warga negara, pengaturan tetap harus dilakukan. Itu pun tak membebaskannya dari argumentasi yang menentang.
Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia, pengaturannya dapat dianggap sikap otoritarian yang mengingkari kebebasan manusia. Jika pun tanpa argumentasi itu, substansinya yang abstrak, tanpa sadar, telah menjangkiti warga negara dan dipraktikkan sebagai kelaziman. Kelaziman yang menumpang struktur budaya sehari-hari warga negara.
Termasuk substansi abstrak itu: ideologi, pandangan, perilaku hingga gaya hidup dari luar negara. Dan seluruhnya dapat bertentangan, bahkan mengancam kepentingan nasional. Konsumerisme, hedonisme maupun hagemoni praktik hidup lainnya, dapat tersebar melalui imperialisme budaya. Karenanya perlu diatur, saat diadopsi suatu negara.
Naomi Evenor, 2024, dalam “Freedom of Expression and Restrictions in the Interest of Defense, Public Safety, Public Order, Public Morality, or Public Health: Article 22(2)(a), "It’s Application from a Prosecutorial Perspective Today, Public Perception, and Permissible Exceptions in a Democratic Society" mengemukakan: Apakah pembatasan ekspresi dibenarkan untuk melindungi keselamatan warga negara atau justru membahayakan kebebasan sipil?
Evenor membuka argumentasinya dengan ilustrasi publikasi kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo. Juga tanggapan terhadap misinformasi di tengah Covid-19. Keduanya mempertentangkan kebebasan berbicara versus potensi kerugian atau manfaat sosial.
Keharusan mengatur yang disampaikan Naomi Evenor, berprofesi sebagai jaksa penuntut umum di AS ini, dilandasi perlindungan terhadap kepentingan warga negara itu sendiri. Pertama, urusan pertahanan negara: pembatasannya demi menjaga keamanan nasional, dilakukan dengan menyensor informasi sensitif yang dapat merusak strategi militer atau rencana pertahanan nasional.
Kedua, urusan keselamatan publik: pembatasannya bertujuan mencegah penyebaran informasi yang dapat memicu kekerasan atau membahayakan individu. Untuk menjaga ketertiban umum, langkah-langkah pembatasannya mengekang tindakan pemicu kekacauan atau kerusuhan sipil. Dengannya, moralitas publik ditegakkan konten-konten yang melanggar standar kesopanan warga negara dibatasi.
Ketiga, urusan kesehatan masyarakat: pembatasannya bertujuan melindungi warga negara dengan mencegah penyebaran informasi, yang dalam konteks infodemik Covid-19, menyebabkan bahaya atau menyesatkan. Pembatasannya menjamin kesejahteraan masyarakat. Dengan ketiga hal itu, berkontribusi pada terlindunginya warga negara dengan aman dan tertib.
Lalu bagaimana halnya dengan perangkat teknologi berbasis artificial intelligence (AI)? Ini dalam realitas dua posisi paradoksnya. Adakah pengaturan yang bertujuan melindungi warga negara maupun kepentingan nasional dari bahaya yang dapat ditimbulkannya? Dua posisi paradoks itu, pertama: perkembangan AI yang sedang berlangsung menghasilkan pencapaian memukau. Setiap hari jagat informasi diperbaharui oleh pencapaian perangkat teknologi berbasis AI.
Hanya saja seluruh pencapaian itu disertai adanya permasalahan yang tak sepenuhnya dapat dipahami, bahkan dipecahkan, oleh perancangnya sendiri. Ini lazim disebut sebagai AI black box problem. Ketika black box itu tersingkap, kategori persoalannya: adanya bias pengetahuan akibat bias algoritma. Pengetahuan AI yang luas namun post factum, lantaran kecerdasannya sebatas data yang diinput pada machine learning (ML). Dalam realitasnya perangkat teknologi berbasis AI tak pernah menampik apa pun promt maupun input sensorial yang ditangkapnya.
Sementara tak seluruh permintaan telah diinput sumber datanya pada ML. Artinya, AI memaksakan jawaban. Ini yang disebut sebagai AI hallucination. Terjadi fenomena ‘kolam keruh’ lantaran makin sedikitnya data baru yang diinput sebagai pembentuk pengetahuan. Pengetahuan yang terbentuk merupakan daur ulang dari pengetahuan sebelumnya.
Kedua, dalam perkembangan AI yang massif namun mengandung kelemahan-kelemahan di atas, adopsinya secara global terbukti menggusur relevansi manusia sebagai tenaga kerja. Terjadinya PHK global, menguak peran AI.
Dalam posisi paradoks itu, tidakkah perlu adanya aturan yang mengendalikan pemanfaatan AI di suatu negara? Ketika yang material diisolasi dan dikarantina, ini lantaran dapat mengganggu ekosistem. Juga ketika yang immaterial diatur, karena dapat mengancam keamanan warga negara maupun kepentingan nasional suatu negara. Siapa yang sesungguhnya memberi hak kepada para pengembang perangkat teknologi berbasis AI, memasuki keseimbangan sebuah negara, seraya mengubahnnya secara tak terbatas? Alih-alih para pengembang itu sekadar menangguk keuntungan, perangkat yang diperkenalkannya nyata menimbulkan perubahan pada negara.
AI yang sifatnya seragam namun berhadapan dengan kepentingan negara-negara dunia yang beragam, tidakkah pula harus diterima dengan pengaturan yang berbeda-beda? Ini sesuai peringatan yang dikemukakan Oxford University dan termuat dalam tulisan Amitai Etzioni dan Oren Etzioni, 2017, berjudul, ”Should Artificial Intelligence Be Regulated?”
Pernyataannya kurang lebih, “Kecerdasan ekstrem AI tak mudah dikendalikan. Baik oleh kelompok yang menciptakan maupun oleh beberapa rezim regulasi internasional. AI akan didorong membangun dunia tanpa manusia atau tanpa keterlibatan yang berarti dari keberadaan manusia. Seluruh perkembagan yang menjadikan AI sangat cerdas, menyebabkan risiko yang unik. Kepunahan lebih mungkin terjadi, daripada dampak yang lebih kecil."
Dengan peringatan yang sayup-sayup mengandung ancaman itu, tak diragukan diperlukan adanya aturan yang disusun berdasar kepentingan masing-masing negara. Alih-alih AI hanya diterima sebagai perangkat penciri diikutinya perubahan, sikap yang jelas melindungi warga negara menjadi korban. Tak lagi terdengar paradoks bukan?
*Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis