2 Dosa Besar Timnas Indonesia U-23 Biang Kerok Gagal ke Piala Asia U-23 2026
SIDOARJO, iNews.id – Ada dua dosa besar Timnas Indonesia U-23 yang bikin gagal ke Piala Asia U-23 2026 menurut sang pelatih Gerald Vanenburg. Dua kesalahan fatal yang dimaksud adalah minimnya kreativitas dan kurangnya ketahanan fisik.
Mimpi Timnas Indonesia U-23 untuk kembali unjuk gigi di Piala Asia pupus sudah! Padahal, pada edisi sebelumnya tahun 2023, Garuda Muda sukses melaju hingga semifinal, mencetak sejarah baru.
Namun di edisi 2026 kali ini, mereka justru tersingkir lebih awal dari kualifikasi usai tumbang dari Korea Selatan 0-1, Selasa (9/9/2025). Meski tampil dominan sepanjang laga, anak-anak asuh Gerald Vanenburg tak mampu mengubah penguasaan bola menjadi peluang emas.
Statistik mencatat Timnas Indonesia U-23 menguasai 59 persen jalannya pertandingan kontra Korea Selatan. Sayangnya, dominasi itu tak cukup untuk memecah kebuntuan.
Sementara Korea Selatan justru tampil lebih efektif. Mereka melepaskan 14 tembakan, dengan 9 di antaranya mengarah ke gawang. Salah satunya menjadi gol penentu kemenangan lewat aksi Hwang Doyun di menit ke-7. Sebaliknya, Indonesia hanya menciptakan 7 peluang, tanpa satu pun yang mengancam gawang lawan secara langsung.
Pelatih Timnas U-23, Gerald Vanenburg, tak menampik bahwa skuadnya memang gagal menembus rapatnya pertahanan lawan. Ia menilai kreativitas dalam membangun serangan menjadi pekerjaan rumah besar bagi tim ini.
"Kami kesusahan menembus pertahanan lawan, memang harus lebih kreatif dan pintar untuk membongkar pertahanan lawan," ujar Vanenburg seusai pertandingan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (9/9/2025).
Tak hanya soal kreativitas, Gerald juga menyoroti kondisi fisik pemain Indonesia yang dianggap tak cukup tangguh untuk meladeni permainan cepat dan keras ala Korea Selatan, terutama di babak kedua.
"Saya melihat pemain-pemain saya bermain dengan hati, tapi masih kalah dari sisi fisiknya, padahal mereka sudah memberikan semua, khususnya ketika menghadapi Korea," ucapnya.
Menurut Vanenburg, akar dari persoalan ini adalah minimnya menit bermain para pemain muda di level klub. Ia menilai, tanpa jam terbang yang cukup, mustahil membentuk ketahanan fisik dan mental bertanding yang mumpuni.
"Mungkin kita harus kembali ke dasar bermain bola, berpikir secara kreatif apa yang harus dilakukan, dan harus detail lagi. Itu yang harus kita bicarakan—kondisi fisik pemain-pemain kalau kembali ke klubnya perlu jam terbang agar kalau ada turnamen seperti ini sudah siap," tegasnya.
Editor: Reynaldi Hermawan