Juventus hingga Fenerbahce, Ini 5 Klub Dilarang Tampil di Liga Champions karena Skandal
TURIN, iNews.id – Lima klub besar Eropa pernah dijatuhi larangan tampil di Liga Champions Eropa karena berbagai pelanggaran, mulai dari pengaturan skor hingga pelanggaran keuangan. Hukuman ini menunjukkan UEFA tidak main-main dalam menegakkan aturan demi menjaga integritas kompetisi antarklub paling bergengsi di dunia.
Liga Champions dikenal sebagai puncak prestasi dalam sepak bola klub Eropa. Real Madrid menjadi penguasa turnamen ini dengan koleksi 15 trofi. Terbaru, Paris Saint-Germain (PSG) mengangkat trofi musim 2024-2025 usai menaklukkan Inter Milan 5-0 di final yang digelar di Munich.
Namun di balik gemerlap Liga Champions, ada sisi kelam dari beberapa klub yang terpaksa absen karena sanksi UEFA. Beberapa di antaranya merupakan klub ternama yang seharusnya menjadi langganan di turnamen elit ini.
Saat musim 2025-2026 mulai bergulir, dengan klub-klub seperti Rangers dan Viktoria Plzen bersiap tampil di babak kualifikasi, cerita dari lima klub yang dilarang tampil menjadi pengingat akan pentingnya etika dan kepatuhan terhadap regulasi.
Pada tahun 2013, Besiktas dilarang tampil di kompetisi Eropa oleh UEFA setelah terbukti terlibat dalam pengaturan pertandingan. Meski klub sempat mengajukan banding, namun Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) menolak banding tersebut dan memperkuat sanksi larangan tampil selama satu musim.
Masih di tahun yang sama, klub sekota Besiktas yakni Fenerbahce juga dijatuhi sanksi larangan selama tiga tahun karena kasus serupa. Fenerbahce juga gagal dalam upaya banding mereka ke CAS, menjadikan mereka salah satu klub dengan hukuman terpanjang akibat pengaturan skor.
Juara Liga Champions dua kali, Juventus, terkena larangan tampil di ajang UEFA untuk musim 2023-2024. Sanksi dijatuhkan akibat pelanggaran aturan Financial Fair Play (FFP) yang dilakukan antara tahun 2012 hingga 2019. Meski tidak terkait pengaturan skor, pelanggaran keuangan ini dianggap serius oleh UEFA.
Kasus terberat terjadi pada klub asal Makedonia Utara, FK Pobeda. Pada tahun 2009, mereka dijatuhi larangan tampil selama delapan tahun karena terbukti terlibat dalam pengaturan pertandingan. Hukuman ini diperkuat oleh CAS, dan bahkan presiden klub saat itu, Aleksandar Zabrcanec, dijatuhi larangan seumur hidup oleh UEFA.
Kasus terbaru datang pada Juli 2025, ketika klub asal Montenegro, FK Arsenal Tivat, dijatuhi sanksi larangan tampil di kompetisi Eropa selama sepuluh tahun. Selain itu, klub juga dikenai denda sebesar 500.000 euro (sekitar Rp8,7 miliar) setelah UEFA melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran disiplin dalam pertandingan melawan Alashkert FC pada Juli 2023.
Tak hanya klub, individu seperti presiden klub FK Pobeda juga menjadi target sanksi permanen, mempertegas bahwa tanggung jawab di dunia sepak bola profesional tidak hanya dibebankan kepada pemain dan pelatih saja.
Tak hanya kasus per individu, dunia sepak bola pernah menyaksikan larangan massal yang melibatkan satu negara penuh. Klub-klub asal Inggris pernah dijatuhi larangan tampil di seluruh kompetisi Eropa selama lima tahun, menyusul tragedi Stadion Heysel pada 1985 yang menewaskan 39 orang dalam final antara Juventus dan Liverpool.
Liverpool sebagai klub yang terlibat langsung bahkan mendapat tambahan hukuman satu tahun, dan baru bisa kembali ke kompetisi Eropa pada 1991. Kejadian ini menjadi babak kelam yang mengubah banyak kebijakan pengamanan dan regulasi di sepak bola Eropa.
Kasus-kasus ini membuktikan UEFA tidak segan mengambil tindakan tegas terhadap klub mana pun yang terbukti melanggar aturan, terlepas dari status atau sejarah besar klub tersebut. Larangan tampil di Liga Champions bukan hanya hukuman administratif, tapi juga bentuk perlindungan atas nilai-nilai sportivitas dalam sepak bola.
Seiring dimulainya musim baru Liga Champions 2025-2026, para penggemar tentu berharap hanya cerita indah yang akan tersaji di atas lapangan tanpa harus kembali mendengar skandal yang mencoreng nama besar klub.
Editor: Abdul Haris