Pemain Keturunan Indonesia Willhoft-King Tinggalkan Man City Demi Kuliah di Oxford
OXFORD, iNews.id – Pemain keturunan Indonesia, Han Willhoft-King, membuat keputusan paling mengejutkan dalam dunia sepak bola Inggris. Dia meninggalkan akademi Manchester City dan jalur profesional demi kuliah hukum di Universitas Oxford. Pemain 19 tahun itu mengakhiri perjalanan panjangnya di Tottenham Hotspur dan Man City untuk memulai hidup baru sebagai mahasiswa Brasenose College.
Willhoft-King selama ini dikenal sebagai gelandang muda dengan prospek cerah. Dia pernah dilatih Yaya Toure di akademi Tottenham, berlatih bersama tim utama saat masih sekolah, hingga merasakan tekanan langsung dari Kevin De Bruyne saat sesi pressing Man City. Semua itu fakta, bukan cerita dilebihkan, meski dia sering dianggap seperti sedang membual saat bercerita.
Di Man City U-21, dia berada di jalur yang biasanya membawa pemain menuju karier profesional. “Saya tidak tahu banyak orang yang ketika sudah mencapai Man City U-21 akan berhenti pada titik itu,” ujarnya, dikutip The Guardian, Rabu (19/11/2025).
Namun justru pada fase itu dia memilih berhenti dan mulai mempersiapkan tes masuk universitas. Keputusan berani ini dipicu rangkaian cedera yang menghantam sejak masa akademinya di Spurs. Sebagai pemain yang pernah masuk radar Timnas Inggris U-16, cedera panjang membuat performanya tak stabil.
“Cedera menjadi faktor besar,” ucapnya. Di Spurs, dia kerap frustrasi karena tak bisa tampil maksimal.
Setelah pindah ke Manchester City pada 2024, nasibnya tak jauh berbeda. Dia kembali cedera dari September hingga awal tahun. Saat pulih, skuad U-21 sudah stabil dan sulit ditembus. Kondisi ini membuatnya mempertimbangkan masa depan jangka panjang di luar sepak bola.
Namun cedera bukan satu-satunya alasan. Willhoft-King mengakui bahwa minat akademis selalu menarik baginya. Ayahnya mantan dosen filsafat, sementara ibunya seorang arsitek. Ketika Spurs memberinya tutor pribadi untuk A-Level, dia menunjukkan kecemerlangan: A+ untuk matematika, ekonomi, dan sejarah.
Pada masa terberatnya di Spurs, dia sempat berencana kuliah di Amerika Serikat dan bahkan menerima tawaran dari UCLA. Dia juga menandatangani kontrak enam bulan dengan FC Cincinnati 2 sebagai jalan menuju MLS Draft. Tetapi semuanya berubah ketika Manchester City menawarkan kontrak satu tahun plus opsi tambahan.
“Saya merasa akan menyesal jika tidak mengambil kesempatan di Man City,” katanya. Setelah merasakannya, dia akhirnya bisa melangkah pergi dengan lega karena sudah mencoba segalanya.
Willhoft-King mengaku sangat terkesan saat pertama kali dipanggil Pep Guardiola ke latihan tim utama. “Melihat Pep … dia sangat, sangat ekspresif. Energinya luar biasa,” ujarnya.
Namun rutinitas latihan pressing justru membuatnya letih secara mental. “Kami hanya berlari mengejar bola seperti anjing selama 30–60 menit.”
Di sisi emosional, kejenuhan makin terasa. “Saya tidak menikmatinya. Mungkin karena lingkungannya. Saya sering bosan,” katanya. Menurutnya, hidup sebagai pesepak bola muda justru minim aktivitas: latihan, pulang, istirahat, lalu mengulang.
Kini hidupnya sangat berbeda. Dia merasa lebih hidup, lebih sibuk, dan lebih tertantang. “Saya selalu merasa kurang terstimulasi di sepak bola. Sekarang saya bahkan kesulitan mencari waktu dalam sehari,” ucapnya.
Pada akhirnya, keputusan masuk Oxford bukan hanya tentang meninggalkan sepak bola, tetapi tentang masa depan panjang.
“Jika saya bermain di League One atau Championship, saya bisa mendapat uang yang bagus. Tapi apakah saya akan menikmatinya? Saya tidak yakin,” ujarnya. Baginya, dunia akademik memberi jaminan masa depan yang lebih panjang daripada karier sepak bola 10–15 tahun.
Editor: Abdul Haris