Astronot Mendeteksi Banyak Oksigen di Atmosfer Bintang Kuno
CALIFORNIA, iNews.id - Sebuah tim astronom internasional dari University of California San Diego, the Instituto de Astrofísica de Canarias (IAC), dan University of Cambridge mendeteksi oksigen di atmosfer bintang tertua. Para ilmuwan menyebutkan bintang itu sebagai J0815+4729.
Penemuan baru, yang dibuat menggunakan W.M. Keck Observatory di Maunakea, Hawaii menganalisis susunan kimiawi bintang kuno. Analisis memberikan pentunjuk penting mengenai bagaimana oksigen dan unsur penting lain diproduksi pada generasi pertama bintang di alam semesta.
Hasil penemuan terbaru diterbitkan dalam The Astrophysical Journal Letters edisi 21 Januari 2020. Hasil pun sangat menarik bagi para ilmuwan.
"Ini memberitahu kita tentang beberapa waktu paling awal di alam semesta dengan menggunakan bintang-bintang di halaman belakang kosmik kita. Saya berharap dapat melihat lebih banyak pengukuran seperti ini, sehingga kita dapat lebih baik memahami penyamaian oksigen paling awal dan unsur-unsur lain di seluruh alam semesta muda," kata Keck Observatory Chief Scientist John O'Meara yang diberitakan Physc, Minggu (26/1/2020).
Oksigen adalah unsur ketiga paling melimpah di alam semesta setelah hidrogen dan helium. Unsur kimia tersebut juga sangat penting bagi semua bentuk kehidupan di Bumi.
Oksigen juga merupakan komponen unsur utama kerak Bumi. Namun, oksigen tidak ada di alam semesta awal. Unsur kimia ini diciptakan melalui reaksi fusi nuklir yang terjadi jauh di dalam bintang-bintang yang paling masif.
Menelusuri produksi awal oksigen dan unsur-unsur lainnya perlu mempelajari bintang tertua yang masih ada. J0815+4729 adalah salah satu bintang tersebut. Bintang berada lebih dari 5.000 tahun cahaya menuju rasi bintang Lynx.
"Bintang seperti J015+4729 disebut sebagai bintang halo. Ini karena distribusi mereka yang bulat di sekitar Bima Sakti, berlawanan dengan piringan datar bintang yang lebih muda," kata astrofisikawan UC San Diego Adam Burgasser.
Bintang halo seperti J0815+4729 adalah bintang yang benar-benar kuno, yang memungkinkan para astronom mengintip produksi elemen di awal sejarah alam semesta. Tim penelitian mengamati J0815+4729 menggunakan Keck Observatory's High-Resolution Echelle Spectrometer (HIRES) pada 10m Keck I.
Data yang membutuhkan lebih dari lima jam menatap bintang selama satu malam digunakan untuk mengukur kelimpahan 16 spesies kimia di atmosfer bintang, termasuk oksigen.
"Komposisi primitif dari bintang menunjukkan itu terbentuk selama ratusan juta tahun pertama setelah Big Bang, mungkin dari material yang dikeluarkan supernova pertama Bima Sakti," kata Jonay González Hernández, peneliti postdoctoral Ramón y Cajal dan penulis utama studi ini.
Data HIRES Keck Observatory bintang itu mengungkapkan komposisi kimia yang sangat tidak biasa. Meksipun mempunyai jumlah karbon, nitrogen, dan oksigen yang relatif besar, unsur-unsur lain seperti kalium dan besi mempunyai kelimpahan sekitar seperjuta dari Matahari.
"Hanya beberapa bintang seperti itu yang diketahui di halo dari galaksi kita. Tapi tidak ada yang memiliki jumlah karbon, nitrogen, dan oksigen yang begitu besar dibanding dengan kandungan besinya," kata seorang peneliti pascadoctoral di University of Cambridge David Aguado.
Pencarian bintang-bintang jenis ini melibatkan proyek khusus yang menyaring ratusan ribu spektrum bintang untuk mengungkap beberapa sumber langka seperti J0815+4729. Kemudian pengamatan lanjutan untuk mengukur komposisi kimianya.
Bintang ini pertama kali diidentifikasi dalam data yang diperoleh dengan Sloan Digital Sky Survey (SDSS). Lalu, dikarakteristikan oleh tim IAC pada 2017 menggunakan Grand Canary Telescope di La Palma, Spanyol.
"30 tahun yang lalu, kami mulai di IAC untuk mempelajari keberadaan oksigen di bintang-bintang tertua di galaksi. Hasil itu telah mengindikasikan unsur diproduksi sangat besar pada generasi pertama supernova. Namun, kami tidak bisa membayangkan kami akan menemukan kasus pengayaan spektakuler seperti halnya bintang ini," kata Direktur IAC dan penulis pendamping penelitian Rafael Rebolo.
Editor: Dini Listiyani