Fenomena Suhu Dingin Melanda Indonesia, sampai Kapan?
JAKARTA, iNews.id - Suhu dingin terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Fenomena ini diakui oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Fenomena suhu dingin di Pulau Jawa dari biasanya ini sempat menjadi perbincangan di media sosial (medsos) seperti X atau dulunya Twitter. Bahkan, di Gunung Bromo pun terlihat diselimuti salju.
Kejadian suhu dingin di Indonesia akan terus berlangsung hingga September. Salah satu penyebab kondisi ini yakni ada angin monsun Australia yang mengarah ke Benua Asia melewati Indonesia.
"Fenomena suhu dingin menjelang Puncak musim Kemarau di Juli-Agustus, terkadang bisa sampai September disebabkan oleh Angin Monsun Australia yang bertiup menuju Benua Asia melewati Wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih rendah (dingin)," kata Deputi bidang Meteorologi BMKG Guswanto saat dikonfirmasi, Selasa (16/7/2024).
Angin Monsun Australia ini bersifat kering dan sedikit membawa uap air. Apalagi di malam hari saat suhu mencapai titik minimumnya. Inilah yang menyebabkan sejumlah wilayah di Indonesia terasa lebih dingin dibanding biasanya.
"Mengakibatkan suhu udara di beberapa wilayah di Indonesia terutama Wilayah Bagian Selatan Khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) terasa lebih dingin, orang Jawa menyebutnya Mbedhidhing," kata Guswanto.
Selain Monsun Australia, Guswanto juga mengatakan sejumlah penyebab lain suhu Pulau Jawa menjadi lebih dingin dari biasanya. Faktor geografis dan topografi, kata Guswanto bisa menjadi penyebab udara menjadi lebih dinging.
"Wilayah Jawa memiliki banyak pegunungan dan dataran tinggi. Saat angin monsun timur bergerak melintasi wilayah ini, udara dingin terperangkap dan mengakibatkan suhu yang lebih rendah terutama di malam hari dan pagi hari," kata Guswanto.
Belum lagi posisi Matahari pada bulan ini juga berada di belahan Bumi Utara. Ini menyebabkan Indonesia menerima lebih sedikit sinar Matahari langsung, sehingga suhu udara menjadi lebih rendah.
Editor: Dini Listiyani